Mohon tunggu...
Eka Dany Witiasari
Eka Dany Witiasari Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate

Seorang Fresh Graduate dengan hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kupu-kupu Malang

8 Agustus 2022   12:55 Diperbarui: 8 Agustus 2022   13:05 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit tidak pernah terlihat cerah dimata Laras. Tidak ada bedanya antara siang dan malam, langitnya telah gelap sempurna. Tidak ada lagi masa depan bagi Laras, mimpi yang pernah diam-diam ia rajut kini harus terkubur dalam-dalam. Bukan inginnya hidup dalam kubangan dosa yang menjijikan, tapi dunia terlalu kejam terhadapnya. Tak pernah sekalipun dunia berpihak kepada Laras.

Paras cantik yang membuat siapapun terpana melihat keindahannya, menjadi peluang besar bagi Laras untuk bekerja sebagai seorang pelayan nafsu bejat laki-laki. Laras tidak peduli lagi bagaimana orang memandang hina dirinya, yang ia tahu adik dan ibunya bisa hidup selayaknya manusia. Satu-satunya mimpi yang tersisa bagi Laras adalah adiknya bisa menamatkan pendidikan hingga sarjana. Masa depan Laras boleh hancur, tetapi tidak ada satupun yang boleh menghancurkan mimpi dan masa depan adiknya. Ia akan menjadi tameng paling kokoh apabila ada laki-laki yang berani menyentuh ujung jari adiknya.

Sabtu malam menjadi hari terpadat bagi Laras. Ditempat biasa Laras menunggu pelanggan, ia terduduk dengan gaun kuning cerah selutut yang membuatnya terlihat sangat menawan. Rambutnya yang panjang ia biarkan terurai. Riasan tipis diwajahnya menambah anggun penampilan perempuan 28 tahun itu. Tak lama ia duduk disana, sebuah mobil putih merapat. Dari dalamnya turun seorang laki-laki dengan setelan kantor lengkap dan dasi yang belum ia tanggalkan. Laras tersenyum manis kepada laki-laki itu berharap kali ini ia mau menyewanya. Seperti yang Laras harapkan, laki-laki itu berjalan kearahnya.

"Bisa di-booking?" tanya laki-laki itu tanpa basa-basi sedikitpun.

"Bisa," jawab Laras kemudian.

"Oke, ikut saya ya," jawab laki-laki itu sambil berlalu menuju mobilnya.

Dingin, kesan pertama yang Laras tangkap dari laki-laki yang baru saja menyewa dirinya. Tak pernah ia bertransaksi sesingkat ini. Laki-laki lain selalu melontarkan candaan akan fisik atau hal-hal kotor yang tidak lucu sama sekali. Tapi dia tidak, dia berbeda.

Laras mengikuti laki-laki itu, masuk kedalam mobil putih miliknya. Hingga mobilnya dijalankan, laki-laki itu tetap diam.

"Aku Laras, nama kamu siapa?" akhirnya Laras membuka percakapan memecahkan tembok keheningan diantara mereka berdua.

"Yudha," jawabnya singkat.

Perjalanan yang mereka tempuh hanya 20 menit, namun terasa sangat lama bagi Laras. Ia bukan orang yang banyak bicara, sulit untuk membuka percakapan dengan orang baru. Biasanya selalu pihak laki-laki yang membuka percakapan. Menanyakan banyak hal, tentang berapa banyak laki-laki yang sudah pernah tidur dengannya, berapa lama ia melakukan pekerjaan ini dan pertanyaan lain yang membuat Laras merasa semakin rendah dihadapan laki-laki yang bahkan tidak lebih baik dari dirinya. Bagi Laras laki-laki yang datang kepadanya adalah makhluk paling hina dimuka bumi. Mereka rela meninggalkan anak, istri bahkan Tuhan mereka untuk memuaskan nafsu bejat yang tak berujung.

Mobil putih milik Yudha merapat disebuah kedai kopi.

"Mau beli kopi?" tanya Laras sedetik setelah mesin mobil dimatikan.

"Iya, masa mau beli sepatu."

Laras terkekeh pelan, candaan yang Yudha lontarkan memang terdengar biasa, tapi tidak bagi Laras. Ia yang terbiasa mendengar candaan kotor dan cenderung merendahkan dirinya, sangat senang mendengar candaan sederhana dari Yudha.

"Aku boleh tunggu disini?" tanya Laras.

"Tidak, kita ngobrol didalam saja," jawab Yudha.

Yudha dan Laras berjalan beriringan memasuki sebuah kedai kopi yang tak jauh dari tempat Laras bekerja. Yudha membuka pintu kedai kopi, mempersilakan Laras masuk terlebih dahulu. Laras melihat-lihat kedai kopi dengan nuansa klasik itu. Senada dengan nuansanya, musik klasik diputar memenuhi sudut-sudut ruangan untuk menemani kehangatan obrolan pengunjung yang tidak terlalu ramai. Hanya ada empat dari dua belas meja yang terisi.

Langkah mereka terhenti pada sebuah meja yang terletak tepat di samping jendela kaca. Dari sana terlihat jelas pemandangan malam diluar kedai. Tidak ada yang istimewa hanya kendaraan berlalu-lalang di jalan, ramai.

Yudha memesan dua gelas latte hangat untuk menemani obrolan mereka ditengah malam yang dingin.

"Aku tidak ingin kamu memuaskan nafsuku malam ini, cukup disini saja, menikmati secangkir kopi dan mendengarkanku bercerita," ujar Yudha membuka obrolan diantara mereka berdua.

Laras terkejut karena tidak pernah ia mendapat pelanggan seperti Yudha, namun disisi lain, hatinya tenang.

"Ibuku dulu sama sepertimu," pungkas Yudha.

Kali ini tidak membuat Laras terkejut sama sekali karena banyak diantara pelanggannya yang memiliki kisah serupa.

"Tapi ibu sudah pergi satu tahun yang lalu."

Laras mengamati wajah Yudha yang terlihat sendu. Wajah itu, wajah yang sama ketika ibunya tahu bahwa ia melakoni pekerjaannya saat ini. Wajah kecewa, sedih dan marah yang sangat kentara. Walau Yudha berusaha menutupinya, tapi Laras tahu, jelas ia tahu.

"Ibu meninggal karena AIDS, setelah ibu sakit aku baru tahu bahwa sosok ibu yang sangat aku hormati selama ini adalah seorang pekerja seks. Aku hancur, sangat, tapi tidak ada yang dapat diubah dari masa lalu. Aku mencoba berdamai dengan masa lalu ibuku. Satu tahun terakhir, setelah kepergian ibu, aku selalu mengunjungi tempat dimana ibu bekerja. Tempat yang sama dengan tempatmu bekerja saat ini. Mengamati kalian satu persatu. Maaf kalau aku lancang soal itu," Yudha terdiam sesaat, matanya fokus mengamati jalanan.

"Pandanganku terhadap kalian tidak pernah baik, sehingga aku mencoba untuk sedikit memahami kalian. Melihat bagaimana kehidupan kalian dari dekat, berharap dapat menumbuhkan setitik maaf untuk sebuah kecewa yang teramat dalam." Yudha menghentikan ceritanya, kemudian menyeruput secangkir latte yang sudah mulai dingin dihadapannya.

"Saat itu aku melihatmu duduk melamun ditengah gelapnya malam. Kamu pergi menjauh, bersembunyi dari tengah gemerlap gang sempit itu. Mungkin saat itu kamu berharap tidak ada satupun yang melihatmu, tapi aku melihatmu Laras," ungkap Yudha yang membuat Laras sedikit terkejut.

"Kamu melamun sangat lama kemudian menangis sebentar sebelum akhirnya kamu hapus air mata itu. Setelahnya, kamu memasang senyum yang dibuat-buat dan keluar dari tempat persembunyianmu untuk menyapa laki-laki hidung belang itu dengan sangat ceria, seolah tidak ada yang pernah terjadi terhadapmu sebelumnya. Aku heran sekaligus bingung, apa yang terjadi terhadapmu? Kamu yang memilih pekerjaan ini, kenapa kamu terlihat begitu menyedihkan?" tanya Yudha penasaran.

"Yudha, tidak semua menginginkan pekerjaan seperti ini. Mungkin terlihat menyenangkan tapi hati kita tidak pernah tenang. Berat Yudha, berat. Tidak ada pekerjaan yang benar-benar menyenangkan. Ibumu, maafkan beliau Yudha, maafkan. Aku tidak tahu apa alasan yang membuat ibumu memutuskan untuk bekerja seperti ini, tapi dilihat bagaimana kamu begitu menghormatinya berarti beliau orang yang baik. Cukuplah itu menjadi alasan untukmu memaafkannya," Laras menjelaskan dengan suara yang sedikit bergetar.

"Tapi dia membohongiku selama ini Laras," Yudha menimpali.

"Dia hanya tidak ingin membuat kamu, orang yang berharga baginya memandang rendah dirinya. Cukup ia merasa rendah dan dipandang rendah oleh lingkungan, tapi dihadapanmu ia tetap ingin menjadi sosok ibu yang bisa dibanggakan," Laras tahu betul bagaimana perasaan itu, bagaimana ia harus menyembunyikan pekerjaannya dari ibu dan adiknya sebelum akhirnya mereka mengetahui semuanya.

Yudha hanya menunduk, cukup lama. Menciptakan keheningan diantara mereka berdua.

"Lalu kenapa kamu menangis saat itu? Kalau tidak tenang kenapa tidak berhenti saja, banyak pekerjaan lain yang lebih baik diluar sana," Yudha seolah melampiaskan kemarahan yang telah ia pendam selama ini kepada Laras.

"Tidak mudah untuk berhenti dari pekerjaan ini Yudha. Mungkin ini akan menjadi kali pertama dan terakhir aku menceritakan ini, tapi semoga bisa menyembuhkan sedikit luka dihatimu. Sebelas tahun yang lalu, saat usiaku 17 aku diperkosa oleh bapak kandungku sendiri. Aku merasa sangat kotor. Sejak saat itu aku menjadi anak yang pendiam. Ibuku yang tahu anaknya diperkosa oleh suaminya sendiri langsung membawaku pergi dari kota itu. Ibu membawaku bersama adiku kekota ini. Tapi ibu semakin menua, diumurku yang baru menginjak 21 tahun ibu terkena stroke, ia lumpuh sehingga tidak bisa bekerja lagi. Adiku masih sangat kecil saat itu, baru berusia 10 tahun. Kebutuhan kami sangat banyak, pekerjaanku saat itu hanya sebagai pelayan toko yang penghasilannya tidak seberapa. Hanya cukup untuk makan kita sehari-hari dan biaya sewa kontrakan. Hingga akhirnya ada yang menawariku pekerjaan ini, pekerjaan dengan bayaran yang cukup menjanjikan. Tidak perlu berpikir lama untuk kemudian menerima pekerjaan ini. Harapanku hanya satu, ibu dan adiku bisa hidup layak, karena hanya mereka yang aku punya. Toh aku manusia yang kotor dan sudah tidak berharga. Belum waktunya untuk berhenti dari pekerjaan ini, kebutuhan kami semakin hari semakin banyak. Adiku saat ini akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, bagaimana aku bisa berhenti semudah itu Yudha, bagaimana? Aku tidak tahu apa alasan ibumu untuk bekerja didunia seperti ini, tapi bagi orang seperti kami kebahagiaan orang tersayang adalah yang utama," untuk pertama kalinya Laras menceritakan kisah hidupnya bahkan kepada orang yang baru ia kenal beberapa jam yang lalu, tapi entah mengapa, kepada Yudha ia merasa bertanggung jawab. Bertanggung jawab untuk meluruskan perasaan Yudha, menjadi perantara bagi ibunya yang tidak pernah sempat menjelaskan kepada anak tersayangnya.

Yudha terdiam sejenak, memikirkan bagaimana ibunya harus bekerja keras membesarkan ia seorang diri. Ayahnya meninggalkan mereka berdua saat Yudha masih sangat belia. Yudha tidak pernah terpikir sampai sejauh itu, pandangan buruknya terhadap pekerja seks membuat ia buta. Ia hanya berpikir bahwa ibunya bersenang-senang melakoni pekerjaan itu hingga akhirnya ayah meninggalkan mereka berdua. Yudha kehilangan kesempatan untuk bertanya bagaimana perasaan ibunya saat menjalani pekerjaan itu karena kebencian yang ada dalam dirinya. Namun kali ini kebencian itu perlahan runtuh, menumbuhkan maaf dan penyesalan dihati Yudha. Laras benar, Yudha mungkin tidak tahu apa yang membuat ibunya melakukan pekerjaan itu, tapi yang Yudha yakini adalah semua yang ibunya jalani semata-mata hanya untuk kebahagiaan Yudha. Cukuplah itu menjadi alasannya untuk memaafkan kesalahan ibunya.

"Terima kasih Laras, terima kasih. Pertemuan kita pasti bukan hanya suatu kebetulan. Tuhan menghadirkanmu untuk menjadi penyembuh lukaku. Maka Laras, bolehkah aku menjadi penyembuh bagi lukamu?" ungkap Yudha penuh rasa terima kasih.

"Bagaimana caranya Yudha?" jawab Laras bingung.

"Laras, Tuhan selalu punya alasan untuk memaafkan setiap kesalahan manusia, begitupun aku yang telah menemukan alasan untuk memaafkan masa lalu ibuku. Lalu bagaimana dengan dirimu, kamu masih terkurung dalam rasa bersalah itu. Laras, berhentilah dari pekerjaan ini dan maafkan dirimu sendiri. Kamu berhak menutup catatan lamamu dan membuka lembaran baru. Aku mau menemanimu, merajut mimpi-mimpi yang mungkin sempat kamu kubur. Laras, menikahlah denganku. Aku tidak ingin kamu berjuang sendiri seperti ibuku dulu, maka izinkanlah aku untuk berjuang bersamamu," ungkap Yudha yang membuat Laras sangat terkejut.

Laras tak kuasa menahan air matanya. Ia tidak pernah merasa layak dimiliki oleh siapapun, tapi kali ini, Yudha, laki-laki yang baru dikenalnya beberapa jam lalu membuat ia merasa begitu dihargai. Tangis Laras semakin deras ketika memikirkan betapa besar karunia Sang Pencipta, bahkan doa-doa seorang pendosa seperti Laras dikabulkan-Nya begitu saja.

Bersama Yudha, Laras memulai hidupnya yang baru. Warna-warna baru mulai mengisi catatannya yang kelabu. Mimpi-mimpi yang sempat ia pendam dalam-dalam satu persatu ia wujudkan. Tapi saat ini, mimpi terbesarnya adalah dapat berbakti seutuhnya kepada laki-laki yang telah menyelamatkannya dari lembah dosa yang hina.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun