Siapa yang tak kenal Danau Toba? Sebuah destinasi wisata dari Sumatera utara. Bukan hanya wisatawan lokal saja, tetapi wisatawan asing pun sudah banyak berkunjung ke Danau Toba. Danau Toba merupakan salah satu destinasi Wisata yang diprogramkan pemerintah menjadi Wisata Dunia. Keseriusan Pemerintah mengembangkan Danau Toba, tampak dari dibentuknya Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT).
Badan Pelaksana Otorita Danau Toba ditetapkan berdasarkan peraturan presiden No 49 tahun 2016. Sejak di tetapkan tahun 2016 sampai sekarang, masyarakat belum melihat perkembangan signifikan dalam Pariwisata Danau Toba.
Data Badan Pusat Statistik 2019, Kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2015, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Danau Toba hanya sebanyak 229.288 orang. Angka kunjungan wisatawan mancanegara mencapai titik tertinggi pada 2017, yakni 270.292 orang. Pada tahun 2018 angka kunjungan wisman ke Danau Toba justru turun 14% menjadi 231.465 orang.
Tentunya dalam pengembangan Wisata Danau Toba, menjadi wisata dunia seperti Bali masih memiliki banyak faktor penghambat. Sesuai dengan pengalaman Penulis, ada beberapa hal yang terpikirkan diantaranya adalah:
*Kearifan Lokal
Banyak kearifan lokal di daerah danau Toba, kearifan lokal tersebut berbeda makna dan nilai, karena di daerah pinggiran Danau Toba terdapat 7 kabupaten dengan budaya yang berbeda.
Penulis akan membahas salah satu hal sederhana, yaitu kearifan lokal dalam berpakaian. Mungkin bagi sebagian orang mendengar ini, hanya sekedar hal biasa saja. Tetapi lain halnya dengan fenomena di lapangan.
Perbedaan prilaku berpakaian masyarakat lokal, dengan wisatawan mancanegara akan menimbulkan pergesekan budaya. Hal tersebut menimbulkan resistensi atau penolakan di dalam masyarakat, atau bahkan pengusiran oleh masyarakat. Seperti dalam Penelitian Causey ( 2006 ) di Samosir dengan judul Danau Toba, menemukan penolakan masyarakat lokal terhadap wisatawan mancanegera kerena gaya berpakaian yang tidak sesuai dengan gaya berpakaian masyarakat setempat di daerah Danau Toba.
Permasalahan yang Sama juga di dapatkan penulis ketika melakukan penelitian terkait budaya pariwisata di daerah pinggiran Danau Toba di Simalungun. Masyarakat lokal sangat tidak menginkan adanya wisatawan, terutama wisatawan asing yang berpakaian "seksi". Masyarakat berpandanag hal tersebut tidak etis dilihat anak-anak dan orang tua.
*Pelepasan Lahan
Mengembangkan Danau Toba, tidak lepas dari eksistensi lahan/tanah masyarakat lokal. Masyarakat lokal di daerah Danau Toba, memiliki fungsi tanah bukan hanya dari nilai ekonomisnya saja, tetapi sebagai identitas. Di daerah Batak ada di kenal dengan istilah "Sipukkah huta", artinya adalah orang yang pertama kali mendiami suatu daerah. "Sipukkah huta" adalah seorang yang memiliki tanah yang luas, dan di wariskan kepada keturunannya sebagai eksistensi klen/marga mereka.