Mohon tunggu...
Danri Agus Saragih
Danri Agus Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Social Antropology

Setiap Individu adalah bagian komunitas Budaya. Hargailah setiap Budaya yang ada, maka kamu sudah menghargai Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pariwisata Danau Toba Seperti Bali?

21 Agustus 2019   23:24 Diperbarui: 21 Agustus 2019   23:27 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Program Sapta Pesona yang di canangkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1989, dengan surat keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor : KM.5/UM.209/MPPT-89, Tentang pedoman penyelenggara Sapta Pesona sebagai payung tindakan yang unsur-unsurnya terdiri dari aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan. 

Pariwisata disebut sebagai perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara yang dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagian dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.

Sapta Pesona merupakan kondisi yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan, berkunjung ke suatu daerah. Keberhasilan Bali menjadi destinasi pariwisata, berkat pencapaian dalam mewujudkan unsur-unsur Sapta Pesona salah satunya adalah keramahan masayarakat Bali. Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata karena keelokannya, ragam budayanya, keramahan masyarakatnya serta keunikan adat istiadatnya. Penelitian Resmayasari (2012) dengan judul Persepsi Wisatawan Perancis Terhadap  "The Island Of Paradise", mengatakan masyarakat Bali dikenal dengan keramahtamahannya. Keramahan masyarakata Bali ( Tuan Rumah ) tersebut menjadi salah satu unsur daya tarik bagi wisatawan.

Tuan Rumah dalam sebuah Pariwisata sangat memerankan peran yang vital, dalam keberlangsungan pariwisata. Ibarat bertamu ke rumah orang lain, ketika pemilik rumah menyambut dengan senyuman dan jamuan makananan atau minuman, komunikasi yang harmonis akan berlangsung. 

Ibarat bertamu ke rumah orang lain, pemilik rumah menjamu tamunya dengan wajah yang cemberut ( yang penting tidak senyum ) dan tidak menghidangkankan jamuan makanan atau minuman, komunikasi hanya akan berlangsung begitu cepat dan tamu enggan untuk bertamu lagi.

Pengembangan Pariwisata Danau Toba, menjadi momentum bagi masyarakat sekitaran Danau Toba menjadi agen (pelaku) dalam industri pariwisata. Masyarakat sekitaran Danau Toba masih tergolong masyarakat sederhana, dengan nilai-nilai budaya yang masih di pegang teguh. Masyarakat sekitaran Danau Toba sebagai agen (pelaku) pariwisata, harus menjalin komunikasi yang harmonis dengan wisatawan.

Rencana Pemerintah yang ingin menjadikan Danau Toba sebagai wisata dunia seperti Bali, terbukti dari Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. Badan yang di bentuk pemerintah untuk bertanggung jawab langsung kepada bapak Jokowi, bertujuan mempercepat pengembangan dan pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba.

Budaya Keramahan Masyarakat di Daerah Danau Toba

Danau Toba adalah danau terbesar di Asia Tenggara. Pembenahan Danau Toba menjadi destinasi pariwisata dunia, tentunya akan melibatkan peran serta masyarakat sekitaran Danau Toba. Terdapat tujuh kabupaten, yang berada di daerah kawasan Danau Toba. Tujuh kabupaten yang berada di sekitar Danau Toba yaitu Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Karo dan Kabupaten Tapanuli Utara. 

Ketujuh daerah tersebut memiliki sebutan sebagai orang Batak, meskipun sekarang ada terjadi Pro dan Kontra antara penamaan Batak di kalangan masyarakat tersebut.

Sikap masyarakat Batak, akan dipengaruhi dampak dari pengembangan industri Pariwisata Danau Toba. Dampak yang akan terjadi dari Pariwisata adalah terjadinya kontak budaya. Kontak budaya adalah pertemuan budaya yang berbeda. Salah satunya dari norma dan nilai di dalam masyarakat Batak, akan berbenturan dengan budaya wisatawan.

Daerah Simalungun di Pinggiran Danau Toba, masih mempunyai nilai-nilai kesopanan untuk kebiasan berpakaian dan gaya hidup. Penelitian Saragih ( 2017 ) di pinggiran Danau Toba dengan judul Sirungkungan Sebagai Desa Pariwisata, Masyarakat Sirungkungan menerima dan bersikap ramah terhadap wisatawan, apabila para wisatawan tidak melanggar norma dan adat sitiadat di daerah tersebut. 

Pun dalam berbicara tidak bisa sembarangan (  berbicara tidak sopan ), tinggal satu rumah harus yang berstatus suami istri dan berpakaian sopan, berpakaian sopan terutama bagi kaum perempuan. Berpakaian sopan bagi orang Batak adalah memakai pakaian yang tidak seksi (celana di atas lutut kaki dan baju yang tidak memperlihatkan sebagian payudara) kalau lagi berbaur dan keluar rumah.

Masyarakat Batak di sekitaran Danau Toba, masih tergolong masyarakat sederhana. Sistem ekonomi orang Batak di sekitaran Danau Toba, mayoritas masih bertani dan menangkap ikan di Danau Toba. Bahasa yang digunakan dalam sehari-hari adalah bahasa lokal yakni bahasa Batak.

Bahasa Batak adalah bahasa yang selalu di pegang teguh oleh orang Batak, ketika merantaupun orang Batak akan tetap berbahasa Batak ketika bersama dengan satu suku mereka. Keakraban dengan masyarakat Batak, mudah terjalin apabila wisatawan mampu berbahasa Batak. Masyarakat Batak selain terbuka terhadap orang luar, orang Batak juga akan sangat mudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Batak.

Keakraban dengan orang Batak terjalin dengan mudah melalui ikatan marga (klen). Saling mengenalkan marga dalam budaya Batak di sebut sebagai "martarombo". Orang Batak sangat bersemangat ketika "martarombo", karena mengenalkan asal usul marga orang Batak akan mengetahui hubungan kekerabatan. 

Orang Batak akan langsung menganggap seseorang keluarga, apabila mempunyai marga yang satu rumpun dengannya. Pun bila tidak satu rumpun marga, orang Batak tetap terbuka dan menghormati masyarakat luar apabila budaya Batak juga dihargai.

Bahasa orang Batak cenderung memakai kalimat dengan memakai kata rasa seperti, "yang kurasakan", "menurut yang kurasakan", dan "dalam perasaanku". Kata "rasa" dalam bahasa yang diungkapkan oleh orang Batak, mencerminkan orang Batak pada hakikatnya adalah penuh dengan sentuhan perasaan hati. 

Orang Batak cenderung dalam menyikapi sebuah fenomena, percaya kepada sebuah pengalaman yang sulit di rasionalkan dengan pikiran, tetapi dirasakan sebagai sebuah pengalaman hidup.

Pengalaman hidup yang di rasakan oleh orang Batak adalah pengalaman dari kisah nenek moyang mereka. Seperti asal muasal terbentuknya Danau Toba orang Batak melalui cerita nenek moyang mereka, percaya bahwa Danau Toba terbentuk akibat "seorang ayah yang marah terhadap anaknya, kemudian terjadi bencana besar yang minciptakan Danau Toba". 

Cerita tersebut sulit untuk dibuktikan secara rasional hingga saat ini. Akan tetapi orang Batak percaya kepada nenek moyangnya, sehingga cerita itu hidup dalam perasaan orang Batak, meskipun seraca rasional sulit untuk dibuktikan.

Masyarakat Batak sebagai tuan rumah, masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal. Bahasa dan ucapan orang Batak, dibentuk dan dipengaruhi oleh budaya lingkungan tempat tinggal masyarakat Batak. 

Budaya wisatawan ketika bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya orang Batak, akan menimbulkan kesenjangan. Kesenjangan yang terjadi akibat kontak budaya, antara budaya Batak yang berbeda dengan budaya wisatawan adalah penolakan wisatawan untuk tinggal di daerah tersebut.

Seperti kasus dalam penelitian Andrew Causey ( 2006 ) di Samosir dengan judul bukunya Danau Toba, meskipun wisatawan asing telah menyewa rumah warga dan tujuan mereka hanya untuk berwisata. Masyarakat menolak mereka dan langsung berterus terang kepada pemilik rumah mereka tinggal, untuk mengusir mereka dari tempat permukiman mereka, karena telah melanggar adat istiadat masyarakat setempat.

Membentuk Sikap Ramah Orang Batak

Sikap seorang "pelayan", sangat diperlukan oleh masyarakat Batak sebagai tuan rumah. Keramahan orang Batak, tentunya menjadi sebuah alasan untuk keberlangsungan pengembangan pariwisata Danau Toba. 

Nilai-nilai budaya dan kehidupan yang masih sederhana, dengan sikap masyarakat Batak lebih suka berterus terang terhadap apa yang ingin di sampaikan, meskipun ucapan tersebut menimbulkan sakit hati. Terlebih, apabila itu melanggar norma dan nilai yang di anut oleh masyarakat setempat, supaya adat istiadat orang Batak tidak ternodai.

Wisatawan yang melakukan aktivitas hidup di dalam masyarakat Batak, tentunya akan menjadi sorotan masyarakat setempat. aktivitas yang melanggar norma-norma orang Batak akan di tegur ataupun ditolak berada di daerah orang Batak. Sifat orang Batak yang berterus terang dan ditambah dengan suara yang lantang, akan membuat perasaan yang kurang baik bagi wisatawan kalau di tegur.

Penelitian Andrew Causey ( 2006 ) di Samosir dengan judul bukunya Danau Toba, menemukan sebuah kesenjangan kontak budaya terjadi antara budaya Eropa dengan budaya orang Batak. Terdapat dua perempuan dan empat laki-laki orang Eropa, menyewa satu rumah di tengah permukiman warga, mereka tinggal bersama dalam satu rumah tersebut. 

Mereka memakai baju dekil yang "tidak sopan" dan para laki-laki Eropa tesebut, terkadang duduk menyamping dengan celana pendek rayon, sehingga sebagian dari kemaluan mereka terlihat. Sehingga terjadi kemarahan tetangga rumah tempat orang-orang Eropa tersebut, kepada pemilik rumah yang menyewakan kepada mereka.

Kontak budaya yang terjadi di dalam pariwisata agar mampu menciptakan keharmonisan, salah satu budaya harus menerima budaya lain dengan sikap positif. Orang Batak sebagai tuan rumah yang memegang teguh adat istiadat dan memiliki filosofi bahwa mereka adalah Raja di daerahnya, tentunya sulit bagi orang Batak untuk menerapkan sikap seorang "pelayan".

Kehidupan orang Batak yang miskin maupun kaya, tidak menghapuskan paradigma Raja dalam pemikiran orang Batak. Miskin maupun Kaya orang batak tetap adalah Raja dalam pemikiranya. Pemikiran Raja di dalam budaya Batak, karena nenek moyang orang Batak ataupun orang Batak sering menyebut "oppung" adalah Raja. Sehingga dalam kepercayaan orang batak, keturunan Raja adalah tetap seorang raja tidak terlepas dia mau kaya ataupun miskin, atau berpendidikan  maupun tidak berpenidikan. Paradigm Raja dalam Budaya batak akan sulit membentuk sikap "pelayan"  untuk para wisatawan, karena Raja sebagaimana adalah orang yang harus dilayani bukan melayani.

Kontak budaya yang terjadi dari ketidakmampuan salah satu  penganut budaya, untuk menerima budaya lain akan menimbulkan sikap yang tidak harmonis atau tidak ada lagi keramahan, namun hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial.

Pentingnya pendidikan pariwisata bagi tuan rumah dalam pariwisata, sangat berguna untuk tujunan keberhasilan pariwsata tersebut. Wisatawan asing dengan kebiasan dan gaya hidup yang sudah fundamental, sulit juga untuk mengubah kebiasaaan dan gaya hidup mereka, apalagi mereka sudah membayar mahal untuk berkunjung ke suatu desitinasi wisata tertentu. 

Kebiasaan hidup wisatawan Asing memakai celana pendek baik perempuan dan wanita, kemudian beraktivitas keluar rumah dengan pakaian tersebut, mungkin adalah hal yang biasa dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah moral.

Akan  tetapi wisatawan Asing, berada di lingkungan yang kebiasaan mereka itu berlawanan dengan norma dan adat istiadat daerah setempat. Sikap budaya wisatawan Asing dengan membawa kebiasaan hidup mereka, tentunya akan sulit bagi masyarakat setempat untuk bersikap ramah kepada mereka, jikalau sudah ada kesenjangan akibat kontak budaya yang tidak harmonis.

Budaya Batak dan budaya wisatawan, salah satunya harus mengalami rekonstruksi dan rekayasa budaya, guna menghapus dampak kesenjangan dari kontak budaya. Kebiasan dan gaya hidup wisatawan, harus di seseuaikan dengan kebiasaan dan gaya hidup masyarakat setempat. 

Hanya saja pemikiran wisatawan asing yang berlandaskan kepada rasional, sulit mengubahnya. Pun wisatawan diberikan pendidikan akan penyesuaian budaya masyarakat setempat, mungkin wisatawan akan sulit lagi menikmati proses kunjungan wisatanya, karena menikmati pariwisata tidak sesuai dengan ekspresinya. Gaya hidup dan kebiasaan yang di miliki wisatawan menjadi salah satu faktor untuk menikmati berwisata. Tentunya kebebasan untuk mengekspresikan kebiasaan dan gaya hidup, menjadikan kepuasaaan tersendiri dalam menikmati pariwisata.

Pembangunan Danau Toba menjadi destinasi pariwisata dunia, tentunya tidaklah mudah dan secepat membalikkan telapak tangan. Kebudayaan Orang Batak adalah menjadi pondasi dalam menciptakan wisata Dunia, karena dari kebudayaan akan membentuk sikap dan tingkah laku masyarakat. 

Pembangunan hotel dan fasilitas infrastrukur bukanlah hal yang utama mencapai Danau Toba sebagai destinasi Pariwisata dunia. Pondasi utama dalam pembangunan pariwisata adalah pencapaian keharmonisan antara wisatawan dan masyarakat setempat, sehingga akan menciptakan sikap ramah tuan rumah dengan wisatawan. Tersedianya Hotel dan fasilitas lainnya akan mampu berfungsi dengan baik, apabila perkembangan pembangunan manusianya sudah tercapai dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun