Beberapa hari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan. Â
Judicial Review atas beberapa pasal tersebut diajukan oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (ALIA).
Atas keluarnya putusan MK tersebut, banyak tuduhan kepada MK yang beredar di media sosial bahwa lembaga yudikatif itu melegalkan LGBT dan perbuatan zina. Padahal bila ditelusuri lebih lanjut sebenarnya banyak yang salah paham atas putusan MK di atas.
Putusan MK di atas tak ada kaitannya dengan melegalkan atau membenarkan LGBT atau perbuatan zina. Apa yang dilakukan oleh MK adalah menolak memberikan perluasan tafsir ketiga pasal seperti yang dimohonkan oleh pemohon.
Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Menurutnya, sebagai lembaga yudikatif, MK tak memiliki wewenang untuk membuat norma hukum baru.
"Yang kurang paham, menuding MK membuat vonis membolehkan zina dan LGBT. Yang benar MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tak boleh membuat norma," ujar Mahfud seperti dikutip dari akun Twitter @mohmahfudmd, Minggu (17/12/2017).
Mengatur untuk membolehkan atau melarang suatu perbuatan merupakan ranah legislatif atau pembuat undang-undang, yakni Presiden dan DPR. Sedangkan, MK dalam kewenangannya adalah sebagai negative legislator, bukan dalam pemahaman sebagai pembentuk undang-undang atau positive legislator.
Dengan adanya penolakan perluasan tafsir atas beberapa pasal tersebut, maka kriminalisasi LGBT dan perzinaan di luar nikah tidak bisa dilakukan oleh pihak tertentu. Hal tersebut juga bisa menghindarkan persekusi atas orientasi seksual seperti LGBT atau urusan domestik rumah tangga seseorang.
Selain itu, hukum di Indonesia memang harusnya dijalankan secara obyektif, sehingga pemidanaan terhadap LGBT dan perzinaan harus ditempatkan di ranah domestik keluarga yang harus dihargai. Ia tidak bisa dicampuradukkan dengan kewenangan negara yang bersifat mengatur urusan publik.
Bila terjadi kasus seperti LGBT atau perzinaan, itu adalah ranah domestik yang sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya.
Namun ternyata penjelasan yang gamblang dari MK juga beberapa pakar hukum di media, tidak membuat media oposisi berhenti menyebarkan pembiasan informasi ini. Mereka terus membuat artikel yang provokatif, tak berimbang, juga berujung pada pembelokan narasi yang diarahkan untuk membuat opini negatif.