Mohon tunggu...
Dani Wijaya
Dani Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pekerja Keras

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Terbuka Dr. Socratez Memperkeruh Situasi dan Menghambat Pembangunan Papua

4 Oktober 2017   09:39 Diperbarui: 4 Oktober 2017   09:49 2020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: antarafoto.com

Gejolak dan dinamika sosial di Papua terus berkembang hingga saat ini. Sekelompok orang yang mengaku warga asli Papua menuntut kemerdekaan dari Indonesia. Tuntutan itu disuarakan melalui berbagai media di dalam dan luar negeri.

Sebelum kita beranjak jauh, kita perlu lihat fakta sejarah di Papua terlebih dahulu. Sejak 1963, Papua masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah sebelumnya dikuasai oleh Belanda.

Dunia internasional mengakui secara sah bahwa Papua adalah bagian Negara Indonesia setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Dengan demikian, secara de facto Papua adalah bagian sah dari wilayah Republik Indonesia.

Di kemudian hari karena berbagai faktor multidimensi dari segi sosial, ekonomi dan politik, terdapat sekelompok orang yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Salah satunya surat terbuka dari seorang Gembala Umat, Dr. Socratez Sofyan.

Dalam suratnya, Dr. Socratez mendesak pemerintah untuk memberikan kebebasan rakyat Papua melakukan referendum dan menentukan sendiri nasibnya. Tak lain tak bukan untuk memisahkan diri dari NKRI.

Tentu kita menyayangkan sikap dari Persekutuan Gereja Baptis di Papua ini. Seorang pemuka agama justru memantik adanya gesekan sosial yang luas dan mendukung gerakan pemisahan diri (separatis) di Papua. Hal itu bila ditelaah lebih jauh tak sesuai dengan fakta sejarah di atas bahwa Papua melalui pengesahan PBB adalah bagian integral dari NKRI.

Suara dari seorang Dr. Socratez harus kita baca secara jernih. Surat tersebut pada dasarnya adalah sikap individunya. Sikapnya belum tentu mewakili suara masyarakat Papua.

Hal tersebut karena beberapa hal, termasuk soal metode dialognya. Dialog yang diakui oleh Dr. Socratez dilakukan hanya melalui media sosial, bukan secara tatap muka dengan perhitungan representasi yang memadai. Dengan demikian, kita patut meragukan pernyataannya bahwa 95 persen rakyat Papua menginginkan kemerdekaannya. Ditinjau dari metode dialog dan metodologi yang digunakannya.

Papua saat ini memiliki perangkat pemerintahan yang dijalankan oleh orang asli Papua. Dengan itu, harapannya pemerintahan di Papua benar-benar mewakili suara masyarakat secara obyektif. Itu yang lebih kredibel dan terpercaya dibandingkan dengan suara pribadi Dr. Socratez yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh Dr. Socratez melalui surat terbukanya sebenarnya kontraproduktif dengan upaya perdamaian di Papua. Surat terbuka Dr. Socratez justru memperkeruh situasi di Papua. Surat terbukanya berpotensi memperuncing kondisi yang mengarah ke konflik terus menerus sehingga menghambat perdamaian dan pembangunan di Papua.

Pemerintah hingga saat ini terus berupaya melakukan pembangunan di Papua untuk meningkatka kesejahteraan rakyat di sana. Pemerintahan Jokowi mulai mengubah pendekatanya di Papua. Pendekatan kesejahteraan diyakini lebih efektif dalam menginisiasi perdamaian di Papua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun