Lidahku tergugu, kelu  menyambanginya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari dalam kerongkonganku. Aku hanya bisa terdiam tanpa sanggup berucap dan melakukan sesuatu. Keberanianku tertahan lalu lenyap tertawan. Beberapa orang berseragam dengan topeng menutupi wajahnya mengiringi langkahku bagai seorang teroris yang baru saja tertangkap saat aku turun dari pesawat. Aku hanya diam tanpa sanggup mengobarkan kenyataan yang kumiliki.
Aku kembali. Negeriku, ucapkanlah selamat datang kepadaku. Sambutlah seorang anak bangsa yang kembali menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Aku pulang, ucapku lirih dalam benak.
Kebenaran dan kejahatan. Kebohongan dan kejujuran. Hitam dan putih. Apakah kalian tahu dimana letak yang membedakan dua sisi yang bertolak belakang itu? Apakah mencoba jujur adalah sebuah kejahatan dan dosa terlarang? Dan diam menjadi sebuah kebeneran yang harus diterima? Pikiranku limbung, terlalu banyak kepalsuan yang memalsukan semua kenyataan yang ada. Memutarbalikkan opini, mengubah sebuah paradigma dan merombak ulang kenyataan agar sesuai skenario.
Ya, hidup layaknya drama. Dan aku berperan sebagai tokoh utamanya. Aku memainkan peran yang telah dibuat. Tak ada kuasa bagiku untuk memprotes dan mengubah jalannya cerita yang akan kumainkan. Aku... hanya boneka dalam sebuah pertunjukkan drama tingkat tinggi.
Orang-orang bertopeng itu menggiringku masuk ke dalam sebuah mobil khusus. Tanpa kuasa aku mengikuti setiap langkah orang-orang bertopeng itu. Aku hanya seorang aktor yang mengikuti jalan cerita yang sudah dibuat. "Tidak semuanya harus diijelaskan secara gamblang. Hati-hati dengan kata-kata yang keluar dari lidahmu," ucap seorang senior yang menghampiriku sejenak sebelum mobil khusus itu berangkat. Aku diam. Kuasaku tertahan dan hilang. Hanya ada rasa takut dan cemas yang tersisa dalam hati ini. Tidak bisa berkehendak mengubah jalan cerita, sebab aku hanya seorang aktor.
"Jika memang saya bersalah, hukumlah saya. Tidak perlu ada sidang. Langsung hukum saja. Saya mengaku bersalah. Tolong jangan ganggu istri dan anak saya, saya sudah lupa semuanya," ucapku memeragakan dialog yang harus kuucapkan dihadapan hakim dan petinggi lainnya. Sekali lagi aku diam dan hanya mengikuti alur yang ada. Seperti aktor. Ya, benar. Aku adalah aktor dari sebuah lakon bernama kenyataan. Kuasaku atas sesuatu hanya dimiliki oleh sutradara yang duduk di atas kursi hangat.
Jika ada yang bertanya kepadaku, "Dimana letak perbedaan antara Kebenaran dan Kebohongan?" Aku hanya sangggup menjawab, "hanya kekuasaan dan Tuhan yang mengerti dimana letak pemisah di antara keduanya"