Indonesia adalah negara hukum. Begitu isi dari Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Yang dimaksud dengan negara hukum adalah dalam penjelasan umum disebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan kekuasaan.
Dengan kata lain, seluruh pejabat negara dalam mengambil suatu kebijakan harus berdasarkan hukum. Bukan ditentukan oleh variabel lain seperti hasrat kekuasaan atau birahi politik. Karena sejatinya, di dalam konstitusi kita hukum adalah panglimanya.
Namun, apakah benar jika Indonesia ini negara hukum? Sejauh mana hukum dapat berdiri sendiri tanpa ada campur tangan dari variabel di luar hukum itu sendiri? Nyatanya, hukum sudah tidak menjadi komponen utama, tetapi mulai tergeser oleh variabel lain seperti politik, kekuasaan bahkan kepentingan.
Jika kita memandang hukum sebagai produk tertulis (undang-undang), maka hukum merupakan produk politik. Hal itu karena pembuat undang-undang (DPR) merupakan orang-orang politik. Maka pada tahap ini politik dan kepentingan yang akan lebih dominan dibanding hukum.
Akan tetapi, jika kita menggunakan das sollen (keinginan), maka istilah hukum merupakan produk politik salah. Hal itu karena das sollen menemukan hukum sebagai upaya untuk mencari kebenaran ilmiah di luar das sein (kenyataan) bahwa hukum dianggap sebagai undang-undang.
Baik politik dan hukum saling memengaruhi. Keduanya tidak ada yang lebih unggul. Jika politik diartikan sebagai kekuasaan, maka di sinilah fungsi hukum untuk membatasi agar kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.Â
Begitu juga hukum tanpa kekuasaan hanya sebatas angan-angan. Hukum tidak akan efektif apabila tidak ada lembaga atau otoritas yang mendukungnya. Artinya hukum butuh kekuasaan untuk menjamin agar aturan tadi ditegakkan.
Maksud dari tulisan ini adalah sejauh mana pengaruh politik dalam pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai porsi atau tidak. Namun, dalam beberapa kejadian sekarang ini, tampaknya politik (dibaca kekuasaan) jauh lebih dominan.
Intervensi politik atas hukumÂ
Dalam pembentukan undang-undang, sebetulnya yang menjadi tolok ukur adalah materil dan formilnya. Jika kedua proses ini berjalan baik, maka undang-undang yang akan dihasilkan bersifat responsif karena dibahas secara demokratis.
Tahapan formil merupakan proses pembentukan yang terdiri dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Dari lima tahapan tadi harus dilakukan sesuai dengan aturan main yang ada terutama saat pembahasan.