Ada yang menarik di jagat media sosial khususnya X. Salah satu trending topik di X adalah penolakan revisi UU TNI. Hal itu karena DPR dan Pemerintah mengebut pengerjaan RUU TNI bahkan dikerjakan di akhir pekan (Sabtu 15 Maret 2025) di hotel mewah di Jakarta secara tertutup yang kemudian digeruduk oleh koalisi masyarakat sipil.Â
Tentu hal tersebut menjadi kontroversi karena DPR dan Pemerintah terkesan mengebut agar revisi UU TNI selesai sebelum masa reses DPR pada bulan Maret ini. Hal itu menunjukkan bahwa pengerjaan revisi UU TNI tergesa-gesa dan ceroboh.
Di sisi lain, dengan mengerjakan revisi UU TNI secara diam-diam dan dilakukan di hotel mewah tidak mencerminkan apa yang pemerintah gaungkan selama ini yaitu efisiensi anggaran. Beberapa instansi harus berhemat sementara DPR dan Pemerintah mampu menyewa hotel mewah untuk rapat.
Tentu pengerjaan revisi UU TNI secara diam-diam menciderai partisipasi bermakna sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Pembentukan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 91 tahun 2020.
Ada perubahan signifikan yang terjadi di dalam Pasal 96 tersebut jika dibandingkan dengan aturan yang lama yakni di UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 96 hanya terdiri 4 ayat. Kemudian setelah putusan MK terbit Pasal 96 terdiri dari 9 ayat yang tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2022.
Di dalam Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2022 ditegaskan misalnya dalam pembentukan undang-undang, ada yang disebut partisipasi masyarakat baik secara daring maupun luring. Selain itu, masyarakat juga dipertegas dapat memberikan masukan baik yang terdampak langsung atau tidak atas berlakunya undang-undang.
Di luar itu, partisipasi publik bermakna menjadi tolok ukur sebuah undang-undang yang disusun lebih demokratis. Dengan adanya partisipasi bermakna, setidaknya undang-undang yang disusun bisa diterima oleh publik karena dibahas secara terbuka.Â
Di samping itu, revisi UU TNI menjadi seksi untuk dibahas seiring dengan banyaknya anggota TNI aktif yang menjadi pejabat di jabatan sipil. Publik memiliki traumatis akan hal itu maka isu kebangkitan dwifungsi ABRI kembali mencuat.
Hanya saja, respon dari kepala KSAD tidak etis. Menurut Maruli Simanjuntak, ada penggiringan opini publik terkait dwifungsi ABRI. Tak hanya itu, Maruli menyebut orang-orang yang mempermasalahkan itu disebut memiliki otak kampungan.
"Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya, kompas.com