Agustus merupakan bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, bangsa kita bebas dari belenggu kolonialisme. Tanggal 17 Agustus yang merupakan hari kemerdekaan RI selalu diperingati meriah.Â
Setiap kota maupun desa selalu bersolek. Lomba-lomba 17an juga menjadi bumbu yang menarik. Tetapi, hari kemerdekaan tidak hanya berbicara itu saja. Setiap tanggal 16 Agustus, MPR, DPR dan DPD RI melakukan sidang tahunan.Â
Salah satunya adalah pidato kenegaraan presiden RI. Lantas, mengapa presiden selalu berpidato setiap tanggal 16 Agustus? Apakah itu suatu kewajiban atau tidak? Di sini saya akan mencoba membahasnya.Â
Kemarin saya menulis artikel yang kental dengan hukum tata negara. Saya menulis artikel yang membahas perbedaan antara bangsa dan negara.Â
Kali ini, saya akan membahas satu artikel lagi yang kental dengan hukum tata negara. Yaitu pembahasan mengenai sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR-DPD RI.Â
Di dalam hukum tata negara, terdapat beberapa sumber hukum yang menjadi landasan terselenggaranya praktik ketata negaraan. Saya tidak akan membahas satu persatu karena terlalu panjang.Â
Salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi ketatanegaraan. Secara umum, konvensi sering diartikan sebagai hukum tidak tertulis (unwritten law).
Konvensi ketatanegaraan juga dikenal dengan istilah kebiasaan ketatanegaraan. Di dalam kebiasaan tersebut, terdapat satu unsur yang menunjukkan bahwa satu perbuatan dilakukan berulang-ulang.
Kebiasaan tersebut akhirnya diterima dan ditaati dalam praktik ketatangeraaan. Pada dasarnya kebiasaan tersebut bukan merupakan hukum. Meskipun praktik tersebut begitu penting, tetap saja merupakan kebiasaan.
Kemudian  manakah yang termasuk ke dalam sebuah kebiasaan ketatanegaraan? Apakah pidato presiden atau sidang tahunan MPR dan DPD? Yang merupakan kebiasaan jelaslah pidato kenegaraan presiden.
DPD dan MPR memang mempunyai kewajiban untuk melakukan sidang, hal tersebut jelas sudah diatur dalam UUD 1945. Sedangkan pidato kenegaraan sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945.