Jumat malam, 16 Mei 2025, selepas shalat Isya, saya kembali ikut agenda rutin yang udah jadi semacam recharge batin buat saya dan teman-teman satu angkatan semasa sekolah dulu: Tadabbur Al-Qur'an bulanan.
Kegiatan ini udah kami jalani cukup lama, dan alhamdulillah masih bisa terus konsisten meski kesibukan masing-masing makin padat. Malam itu, seperti biasa, yang memandu tadabbur adalah Kang Budi, salah satu sahabat kami yang dikenal mendalami ilmu agama dengan serius dan penuh keikhlasan.
Yang dibahas malam ini adalah Surat Al-Anfal ayat 1 sampai 4. Awalnya mungkin terasa berat karena ayat-ayat ini membahas tema yang cukup dalam: tentang ganimah (rampasan perang), ketundukan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ciri-ciri orang yang benar-benar beriman. Tapi saat mulai ditadabburi satu per satu, ternyata ayat-ayat ini membawa kami merenung lebih dalam tentang makna ketakwaan.
Tadabbur Bukan Sekadar Baca, Tapi Rasa dan Aksi
Tadabbur itu beda dari sekadar membaca. Ia mengajak kita berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: "Apa maksud Allah di balik ayat ini untukku, hari ini?" Dan dari perenungan itu, muncul kesadaran baru yang sering kali menggugah.
Surat Al-Anfal ayat 2 misalnya, menyebutkan ciri-ciri orang beriman: ketika disebut nama Allah, hati mereka bergetar; ketika dibacakan ayat-ayat-Nya, keimanan mereka bertambah; dan mereka bertawakal hanya kepada-Nya. Ini bukan deskripsi orang lain---ini semacam cermin untuk kita menilai diri sendiri.
Apakah hati kita masih bergetar saat mendengar nama Allah? Apakah ayat-ayat-Nya masih bisa menambah iman kita, atau justru sekadar lewat begitu saja? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang membuat tadabbur terasa sangat personal, sangat menyentuh.
Dari kegiatan malam itu, saya kembali diingatkan bahwa tadabbur Al-Qur'an bukan cuma soal ilmu, tapi soal transformasi. Beberapa manfaat yang saya rasakan antara lain:
Meningkatkan kesadaran diri
Tadabbur membuat kita lebih jujur menilai hati dan tindakan kita. Bukan untuk menghakimi diri, tapi agar bisa terus memperbaiki.