Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Peringatan Kemerdekaan dan Transfigurasi Indonesia

1 Agustus 2019   05:00 Diperbarui: 1 Agustus 2019   05:09 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak memberi penghormatan kepada Sang Saka Merah Putih. Sumber foto : blogspot.com/Hideto hada

("...Bangunlah Jiwanya / Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya..." Ini adalah bagian dari lagu kebangsaan Indonesia yang mencerminkan semangat / etos bagaimana membangun Indonesia. Tulisan ini diturunkan di awal bulan Agustus 2019 untuk mengajak merefleksikan peringatan bersejarah 74 tahun yang lalu, Indonesia Merdeka, dan memandang serta menetapkan langkah ke depan yang lebih baik.)

Ada keprihatinan bahwa etos bangsa kita lemah meski tinggi minat spiritual keagamaannya. Gunar Myrdal bahkan menyebut Indonesia jauh-jauh hari sebagai salah satu soft states, negara lunak, dalam bukunya berjudul Asian Drama (1968). Sementara dunia di luar seperti di Jepang, Turki, Korea Selatan bergairah etos kerja bangsanya. 

Faktor dominan inilah yang membuat kemajuan-kemajuan berarti terutama di bidang ekonomi bangsa-bangsa itu. Banyak kalangan terpelajar menyoroti hal itu. Tulisan M Alfan Alfian "Menggali Etos Bangsa" (Kompas, Kamis, 14 Juli 2016) adalah salah satunya yang sangat memikat. Sedangkan artikel kecil ini dimaksudkan sebagai suatu diskusi terhadap tulisan tersebut.

Titik pijak Dosen Pascasarjana Ilmu Politik di Unas ini adalah hipotesis sejarawan Prof. Dr. Kartodirdjo tentang etos "mesu budi" yang dihayati orang-orang Jawa, yakni suatu etos yang mencerminkan asketisme intelektual. Bahwa etos ini bisa menjadi etos bangsa dan dapat disejajarkan dengan "etos Protestan" (Weber) atau "Religi Tokugawa" (Bellah). (Kompas, 2/10/1983)

Masalahnya, mengapa di Jawa atau lebih luas Indonesia tidak muncul semacam Restorasi Meiji kalau etos "mesu budi" itu sangat kuat pengaruhnya? Di mana dan apa yang salah ?

Perdasarkan pijakan itu, Alfian membuat suatu hipotesis bahwa kultur feodal kerajaan-kerajaan Jawalah yang menjadi penyebabnya. Kolonialisme berabad-abad lamanya tidak menghapus kultur itu tetapi justru memperkuatnya. Ini segaris dengan tesis Nurcholis Madjid dengan "mentalitas pedalaman"-nya (dilawankan dengan mentalitas pesisir) atau Mochtar Lubis dengan Manusia Indonesia (1978).

Banyak cerita sukses yang menggabungkan etos kerja dengan spiritualitas suatu agama, seperti Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan KH Ahmad Dahlan. Namun, kondisi beberapa dekade belakangan ini amat memprihatinkan, yaitu ternyata etos kewirausahaan yang digali dari agama ini melempem karena kalah bersaing. Persoalannya, menurutnya, ada dalam struktural yang menggoyahkan etos masyarakat.

Lantas, dari mana etos bangsa ini dapat digali lebih jauh dan menggerakkan bangsa ini ? Bisa berasal dari macam-macam spiritualitas keagamaan. Lalu, bagaimana hal semacam Restorasi Meiji terjadi pada Bangsa ini ?

Pada titik inilah kita berhadapan dengan pesisimisme. Kita diajak melihat keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala struktural sekaligus kemustahilan melampauinya. Kita berharap akan kemajuan, tetapi kita sudah mentok mencapainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun