Menjelang akhir tahun 2024 lalu, sebuah video viral memperlihatkan Gus Miftah yang tengah mengejek seorang penjual es teh dalam sebuah kegiatan keagamaan.
Gus Miftah melontarkan komentar yang dianggap menyinggung oleh banyak orang. Reaksi publik pun cepat dan meluas, dengan banyak netizen yang mengkritik pernyataannya sebagai tidak pantas.
Akibatnya, muncul aksi cancel culture di media sosial serta petisi di Change.org yang menuntut pencopotannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Tekanan publik yang intens ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Gus Miftah.
Contoh lain dari cancel culture di Indonesia adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Selama tahun 2016--2017, Ahok menghadapi cancel culture menyusul tuduhan penistaan agama terkait dengan pidatonya di Kepulauan Seribu. Pidato tersebut memicu protes massa  yang mengakibatkan tekanan sosial dan politik.
Peristiwa ini menyebabkan Ahok kehilangan dukungan publik, yang berpuncak pada kekalahannya dalam pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017.
Cancel culture juga hadir dalam bentuk boikot terhadap brand atau perusahaan yang terlibat dalam kontroversi.
Sebuah brand atau perusahaan bisa langsung kehilangan pelanggan setelah dianggap tidak sensitif terhadap isu sosial tertentu. Protes yang dilakukan netizen bisa sangat keras, memaksa perusahaan tersebut untuk meminta maaf atau bahkan mengubah kebijakan mereka.
Cancel culture menjadi fenomena yang semakin sering terjadi di media sosial. Di mana, seseorang atau bahkan sebuah brand atau organisasi menjadi sasaran kecaman publik karena sebuah kesalahan atau kontroversi.