Periode terakhir Pemerintahan Jokowi dan Nasib KPK

Melihat polemik yang sedang terjadi saat ini sungguh sangat miris. Di akhir periode pertamanya sekaligus masa transisi kepada periode terakhirnya Jokowi justru berhadapan dengan permasalahan yang telah melambungkan namanya. 

Jokowi dihadapkan oleh diksi dan narasi yang seolah olah membuat dirinya berseberangan dengan karakter yang berkontribusi terhadap kemenangannya yaitu antikorupsi. 

Eksistensi KPK dibutuhkan selama korupsi masih menjadi kejahatan ekstra ordinari. Keberadaan KPK masih diperlukan mana kala korupsi memperlihatkan tidak kian berkurang. 

Revisi UU tentang KPK diperlukan utk memperkuat bukan melemahkannya. Pada perjalanannya KPK sudah banyak mengalami upaya pelemahan bahkan pembubaran dari berbagai pihak yang selama ini terbukti menjadi sumber bahkan sarang Koruptor. 

Lembaga lembaga tersebut bukan saja partai politik, legislatif, maupun eksekutif bahkan sampai lingkaran paling dekat dengan kekuasaan. 

Presiden Jokowi harus punya keberanian untuk berbeda dengan setiap oknum termasuk yang berada di lingkaran terdekatnya dalam pemberantasan korupsi. Beliau harus berani menyatakan yang benar itu benar yang salah itu salah. 

Namun dibalik permasalahan ini sebenarnya kita punya PR yang belum terselesaikan yaitu bagaimana korupsi kemudian menjadi perilaku sebagian kecil dari pejabat bahkan rakyat saja. Karena menghilangkan korupsi itu sesuatu yang bisa dikatakan tidak mungkin karena korupsi bersumber dari setiap diri manusia. Korupsi bukan Kebudayaan tapi diawali dari ketidakmampuan diri dalam mengontrol setiap keinginan. 

Pada akhirnya keberhasilan dialek di dalam diri sendiri menjadi kunci dalam memenangkan diri dari setiap keinginan yang selalu ingin menguasai diri setiap individu. Hal ini dapat dilakukan sejak kecil diwariskan sejak dalam kandungan dan hanya bisa dilakukan dalam bingkai pendidikan.