Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rekomendasi Ombudsman RI tentang Kasus GKI Yasmin, Bogor: Apakah akan Mampu Mengembalikan Hak Jemaat untuk Beribadah di Gerejanya?

18 Juli 2011   17:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:34 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Problem Perizinan pembangunan gereja dan peribadatan jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor, kembali mencuat. Ketika Ombudsman Republik Indonesia, pada Senin, 18 Juli 2011 mengumumkan rekomendasinya. Menyatakan Walikota Bogor, Diani Budiarto, telah melakukan pelanggaran hukum, dan meminta dia untuk segera mencabut SK-nya yang membekukan IMB GKI Yasmin, Bogor, Jawa Barat itu.

*

Mana yang lebih berbahaya, membiarkan warganegara menjalankan ibadahnya sesuai dengan kepercayaan agamanya sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, ataukah seorang pejabat tinggi negara setingkat walikota berpoligami dengan istri-istri mudanya yang masing-masing terpaut sampai puluhan tahun?

Rupanya aparat di Pemerintahan Walikotakotamadya Bogor menganggap yang pertamalah yang berbahaya. Oleh karena itu harus segera dilarang. Sedangkan yang kedua justru harus didukung. Sekalipun pada poligaminya yang terakhir terpaut 37 tahun dengan cucu, eh, istrinya itu.

Hal ini tidak heran karena pimpinannya adalah pelaku dari poligami tersebut, dan orang yang sama pulahlah yang menentukan pelarangan warganegara Indonesia yang tidak seiman dengannya untuk melakukan ibadah di atas tanah mereka sendiri.

Alasannya sungguh di luar nalar: Hanya karena WNI yang beragama Kristen itu membangun gedung ibadahnya, Gereja Kristen Indonesia (GKI), meskipun itu di atas tanah mereka sendiri, Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat,tetapi karena nama jalannya adalah nama jalan dari seorang tokoh Islam, KH R. Abdullah Bin Nuh, maka jemaat GKI Taman Yasmin itu harus segera angkat kaki dari sana.

Diani Budiarto, Sang Walikota Bogor itu menguraikan dasar alasannya melarang Jemaat GKI Yasmin membangun gerejanya dan beribadah di tanah tersebut, dan oleh karena itu harus angkat kaki dari tanah mereka sendiri itu.

Pada waktu jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor itu mengajukan IMB untuk membangun rumah ibadah di sana, semuanya lancar-lancar saja. Tidak ada masalah. Namun, setelah dua tahun kemudian, begitu jalan di depan gereja itu berubah nama menjadi Jalan KH R. Abdullah bin Nuh, mulailah muncul masalah. Penolakan keberadaan gereja di sana, yang katanya, dilakukan oleh warga sekitar.

[caption id="attachment_120036" align="alignleft" width="171" caption="Walikota Bogor Diani Budiarto (diedit dari Kompas.com)"]

13110098308626149
13110098308626149
[/caption] Walikota Bogor Diani Budiartomenganggap setelah nama jalannya berubah menjadi Jalan KH R. Abdullah bin Nuh, maka tidak pantas lagi ada gedung gereja di sana. Karena KH R. Abdullah bin Nuh adalah tokoh agama Islam yang sangat dihormati.

Apakah alasan ini sama dengan mau mengatakan bahwa keberadaan sebuah gedung gereja dengan alamat jalan yang menggunakan nama tokoh Islam adalah semacam sebuah pelecehan, atau apa?

Kalau hanya itu saja sudah dinilai sebagai sesuatu pelecehan, bagaimana bisa diharapkan adanya suatu bentuk toleransi lain yang lebih masuk akal?

Jemaat GKI Yasmin itu jelas adalah korban dari suatu pelanggaran HAM yang jelas-jelas didukung sepenuhnya oleh seorang walikota yang seharusnya mengayominya. Tetapi, seperti lazimnya terjadi di negeri ini. Logika serba terbaliklah yang sering terjadi.

Diani Budiarto justru mempersalahkan jemaat GKI Yasmin itu, yang dinilainya sebagai “tidak tahu diri”.

Dalam sebuah pernyataannya di April 2011 lalu dia justru menilai warganya yang umat GKI Yasmin itu yang tidak bijaksana karena ngotot, terus mempertahankan haknya untuk beribadah di situ. Padahal, katanya, Pemkot Bogor sudah menyediakan lokasi lain asalkan bukan di Jalan KH R. Abdullah bin Nuh.

“Kalau sekarang gereja tetap bersisikuh dengan bentuk selalu melakukan ibadah di trotoar di depan bangunan yang belum jadi itu, sementara ada kelompok lain yang juga terus melakukan demonstrasi menunjukkan resistensinya, saya jadi bertanya-tanya, apakah yang mereka perlukan adalah rumah ibadah atau ingin menciptakan pertentangan antarumat di Kota Bogor”, katanya waktu itu (Kompas.com, 01 April 2011).

Sungguh ini logika yang terbalik. Bukankah dari sejak permohonan izin sampai dengan proses pembangunan gedung gereja semuanya berjalan lancar sampai dua tahun berjalan? Masalah justru baru muncul kemudian ketika nama jalannya diubah. Jadi, siapa sebenarnya yang memulai pertentangan ini?

Dan tidak mungkin kelompok yang melakukan aksi-aksi penolakannya tersebut semakin berani kalau tidak mendapat dukungan yang begitu terang-terangan dari Walikota Bogor itu sendiri. Bahkan saking beraninya, hukum dalam bentuk Putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pun dilawan.

Bekingan dari Walikota Bogor secara melawan hukum dan terang-terangan itulah yang semakin mengkristal munculnya pertentangan itu. Dan membuat kelompok penentang itu menjadi semakin frontal dan berani dalam menjalankan aksinya.

Sekarang, seperti dalam dua minggu terakhir ini, pada tanggal 3 dan 10 Juli lalu, kelompok itu terus-menerus menggangu secara langsung jemaat GKI Yasmin yang sedang beribadah di trotoar itu. Caranya dengan dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, seperti “Maju Tak Gentar” saat jemaat sedang beribadah.

“Bahkan, beberapa perwakilan kelompok itu berulangkali mendatangi dan mendesak pihak GKI Yasmin agar segera menghentikan ibadah. Alasannya, ibadah itu mengganggu masyarakat yang hendak menggunkan trotoar, untuk berdagang, maupun untuk pangkalan ojek, “ ungkap Pengacara dari LBH Jakarta, Febiyonest (Kompas.com, 14 Juli 2011).

Jelas sekali bahwa ini alasan yang sangat terlalu dibuat-buat. Meniru walikotanya.

Alasan sebenarnya adalah mereka tidak setuju semata-mata karena tidak suka dengan kelompok yang berbeda keyakinan agamanya dengan mereka. Mereka ini adalah kelompok yang antitoleran, antipluralisme, dan bahkan termasuk bisa jadi kelompok sektarian. Maka mereka memang tidak suka dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda keyakinan dengannya. Siapa pun yang berbeda keyakinan dengan mereka harus menyingkir dari dekat mereka.

Tapi karena mereka tidak berani jujur dengan sikap sesungguhnya, maka dibuatlah alasan-alasan yang sulit diterima nalar itu.

Apakah benar orang hendak menjalankan ibadahnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari orang lain? Apakah benar orang yang hendak menyembah Tuhan-nya harus terlebih dahulu minta izin, atau tergantung dari persetujuan pihak lain (yang tidak sekeyakinannya dengannya?). Termasuk dari Pemerintah?

Kenapa membangun rumah ibadah dan beribadah harus ada izin dari pihak lain?

IMB memang perlu, tetapi apakah harus dikaitkan dengan agama? Warga sekitarnya boleh-boleh saja tidak setuju, tetapi ketidaksetujuan itu haruslah masuk akal. Dan bisa diterima secara hukum Bukan hanya sekadar tidak setuju karena tidak suka saja. Apalagi hanya berdasarkan sentimen antiagama tertentu. Bila ini ada, peran pemerintahlah yang mentralisirnya, lewat tindakan-tindakan persuasif dan edukatif. Berupaya membuat masyarakat paham bahwa kita ini tinggal bersama dalam suasana pluralisme. Baik dalam bentuk budaya, maupun agama, ataupun yang lainnya. Sedangkan Pancasila dan UUD 1945 menjamin setiap kelompok masyarakat itu untuk menjalankan hak asasinya di dalam perbedaan-perbedaan itu.

Apa jadinya negara ini, kalau ada kepala-kepala daerahnya yang bersikap seperti Walikota Bogor ini? Yang bahkan berani melawan hukum, dalam bentuk tidak mau mentaati putusan Kasasi dan PK dari Mahkamah Agung.

Sekarang, pada 18 Juli 2011 ini Ombudsman Republik Indonesia lewat rekomendasinya, menyatalkan bahwa Walikota Bogor Diani Budiarto telah melakukan penyimpnagan praktik Administrasi, atau maladministrasi, terkait dengan penerbitan SK yang isinya mencabut IMB untuk GKI Yasmin itu.

Ombudsman juga menyatakan bahwa tindakan maladministrasi yang dilakukan Walikota Bogor merupakan perbuatan melawan hukum, dan mengabaikan kewajiban hukum.

Oleh karena itu Ombudsman merekomendasikan kepada Walikota Bogor agar mencabut SK-nya yang berisi tentang pembekuan IMB GKI Yasmin itu. “Kami beri waktu 60 hari untuk pelaksanakan rekomendasi tersebnut, kata anggota Ombudsman, Budi Santoso (Kompas.com, 18 Juli 20110).

Ombudsman juga meminta kepada Gubernur Jawa Barat berkoordinasi dengan Walikota Bogor melaksankaan rekomendasi tersebut. Demikian juga meminta Menteri Dalam Negeri untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi dari Ombudsman tersebut.

Apakah dengan adanya rekomendasi dari Ombudsman tersebut, Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat, dan Menteri Dalam Negeri akan melaksanakannya, sehingga Jemaat GKI Yasmin itu dapat bebas menjalankan hak asasinya untuk beribadah?

Bagaimana kita bisa optimis, kalau Putusan Kasasi dan PK Mahkamaah Agung saja seorang pejabat selevel walikota berani melawannya tanpa dikenakan sanksi apapun, apalagi dengan hanya sebuah rekomendasi dari suatu lembaga semacam Ombudsman?

Bagaimana bisa kita mengharapkan banyak dari Gubernur Jawa Barat dan Menteri dalam Negeri, kalau selama ini pernyataan-pernyataan mereka justru cenderung senada dengan Walikota Bogor itu?

Mengharapkan Presiden SBY turun tangan?

Dalam kondisi biasa saja, dia yang selalu berkumandang menentang segala bentuk aksi yang menindas kebebasan beragama di negara ini, tapi tidak pernah melakukan apa-apa. Apalagi dalam kondisi sekarang, dia sedang sibuk mengurus badai Nazaruddin yang menerpa parpolnya. Mana sempat mengurus kepentingan bangsa dannegara seperti ini. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun