Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepala Daerah Pembangkang: "Jadi, Presiden Mau Apa Sekarang?!"

14 April 2012   02:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:38 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1334369067980613800

[caption id="attachment_171636" align="aligncenter" width="475" caption="(Presiden SBY (Sumber: Tempo.co)"][/caption]

Dalam salah satu bagian isi pidato SBY pada 1 April 2012, yang katanya seharusnya hanya untuk internal Partai Demokrat, tetapi ternyata dibocorkan itu, (atau sengaja dibocorkan?) itu SBY mengecam keras para kepala daerah yang ikut melakukan unjuk rasa anti kenaikan harga BBM bersubsidi.

SBY memyebutkan para kepala daerah itu sebagai pembangkang yang tidak memiliki moral dan etika, karena gubernur/bupati/walikota itu adalah bagian dan kepanjangan tangan dari pemerintah. Berdasarkan UUD 1945. kepala pemerintahan itu adalah Presiden. Keliru hukumnya, kalau para kepala daerah itu malah melawan kebijakan pemerintah, kata SBY dalam pidato “internal”-nya itu.

SBY juga mengatakan para kepala daerah itu telah melakukan perlawanan, dan bahkan pemberontakan dengan melakukan aksi yang insubordinasi. “Mau jadi apa negara kita ini, kalau begini? Menangis rakyat kita”, kata SBY lebih lanjut.

Sebelum SBY, pada Maret 2012, ketika lagi marak-maraknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi sudah terlebih dahulu mengultimatum para kepala daerah agar jangan coba-coba melakukan aksi yang melawan kebijakan pemerintah. Karena aksi itu sama saja dengan pembangkangan, dan menentang undang-undang yang mewajibkan kepala daerah untuk patuh pada setiap kebijakan pemerintah pusat. Kata dia, bagi yang melanggar akan dijatuhkan sanksi. Bilamana perlu dipecat. Beda dengan SBY, Gamawan memberi peringatan itu secara terang-terangan, sedangkan Presiden SBY secara “sembunyi-sembunyi”. Hanya berani berucap di dalam pidato internal Partai Demokrat itu. Persamaannya adalah, ternyata dua-dua cuma omdo alias NATO. Omong doang alias no action talk only.

Bayangkan saja di bawah wibawa pemerintah pusat, kalau Mendagri-nya tak berdaya dengan para kepala daerah di bawahnya? Cuma bisa sebatas gertak sambal. Lebih-lebih, bahkan Presiden seperti tidak punya cukup nyali terhadap para kepala daerah itu. Bisanya cuma marah-marah, curhat kepada para kadernya.

Selain sama-sama cuma bisa omdo alias NATO, sesungguhnya SBY dan Gamawan Fauzi itu mempunyai perilaku munafik yang sama. Kenapa?

Karena ternyata Gamawan Fauzi pada waktu menjadi Gubernur Sumatera Barat juga pernah menjadi pembangkang terhadap pemerintah pusat, sama seperti yang dilakukan oleh sedikitnya lima kepala daerah pada Maret 2012 itu. Pemerintah pusat yang dilawan itu juga sama, yakni Presiden SBY.

Bahkan apa yang pernah dilakukan oleh Gamawan sebagai Gubernur Sumatera Barat itu lebih berani dan kreatif. Dia tidak hanya ikut melancarkan aksi unjuk rasa menentang kebijakan pemerintahan SBY untuk menaikkan harga BBM pada 29 September 2005 (pada waktu itu rencana kenaikan BBM mulai 1 Oktober 2005), tetapi sampai pada menandatangani surat pernyataan penolakan dan berinisiatif mengirimnya langsung ke Presiden SBY melalui faks (kabarnet.wordpress.com, 28/03/2012).

Presiden SBY pada waktu itu pun hanya diam saja, tidak bereaksi seperti sekarang ini. Malah kemudian mengangkat Gubernur “sang pembangkang” dari Sumatera Barat itu menjadi salah satu anggota kabinetnya, Menteri Dalam Negeri. Setelah menjadi Menteri Dalam Negeri, kini bisa berlagak memberi ultimatum kepala kepala daerah yang melakukan hal yang sama dengan apa yang pernah dia sendiri lakukan.

Tidak heran kepala daerah – kepala daerah itu sepertinya tidak merasa gentar sedikitpun dengan kemarahan dua pembesar negara ini yang sejatinya memang adalah atasan mereka (yang tertinggi). Mereka yakin kemarahan dua pembesar ini hanya seperti angin, akan berlalu begitu saja, lalu lenyap tak berbekas. Rasanya ingin tahu juga apakah yang terjadi kalau kelak mereka bertemu dengan Mendagri dan Presiden SBY ini. Mungkin sama-sama akan berpura-pura lupa.

Selain Presiden SBY dan Mendagri Gamawan Fauzi, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa pun atas nama Istana pada waktu itu (Maret 2012) mengatakan bahwa unjuk rasa yang dilakukan para kepala daerah itu selain sangat membingungkan, merendahkan wibawa pemerintah pusat, juga mengacaukan dan membahayakan sistem pemerintahan NKRI.

“Praktik politik itu tidak hanya membingungkan publik, namun juga mengacaukan sistem pemerintahan republik. Sangat kacau!” kata Daniel Sparringa, Selasa, 27 Maret 2012, di Jakarta (Jawa Pos, 28/03/2012).

Pertanyaannya adalah apabila SBY sebagai seorang presiden ini sungguh-sungguh menilai betapa sangat seriusnya aksi para kepala daerah itu, yakni telah merupakan aksi perlawanan, bahkan pemberontakan kepada Pemerintah Pusat, bertentangan dengan hukum konstitusional negara, kenapa dia hanya berani ungkapkan di kalangan internal Partai Demokrat? Sangat jelas, ini bukan urusannya Partai Demokrat, tetapi sudah berupakan urusan dan masalah kenegaraan. Dan, sebagai seorang kepala pemerintahan dan kepala negara, SBY harus segera bisa memutuskan dan bertindak tegas. Agar jangan sampai – meminjam istilahnya sendiri – rakyat menangis melihat fenomena tersebut.

Kalau SBY sebagai seorang presiden NKRI berdasarkan UUD 1945 ini sudah tahu rakyat menangis menyaksikan hal demikian, kenapa dia malah tidak bertindak apa-apa? Justru rakyat akan menangis melihat sikap presidennya yang tidak konsekuen dan tidak berkomitmen dengan perkataannya sendiri. Rakyat jelas akan menangis mempunyai presiden yang hanya berhadapan dengan kepala daerah saja tidak punya wibawa dan nyali.

Kenapa beberapa kepala daerah begitu beraninya menentang pemerintah pusat, termasuk dan terutama Presiden SBY sekalipun?

Itu karena di mata mereka pemerintah pusat, terutama SBY sebagai presiden memang tak ada harganya. SBY tak lebih dari jago pembuat retorika, hanya jago menggertak, tetapi sama sekali tidak punya nyali untuk melaksanakannya. Tidak punya cukup keberanian untuk menghukum mereka. Bagi mereka, seperti juga pihak-pihak lain yang pernah menjadi “korban” gertakan SBY, SBY itu tak lebih dari seorang “Raja Sambal” alias tukang gertak saja.

Predikat tukang gertak, nihil implementasi, sudah terbukti banyak kali. Menggertak Golkar, menggertak PKS, menggertak FPI, marah kepada para menterinya yang tidak menjalankan perintahnya, memberi ultimatum kepada media Australia (The Age) yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya, dan sebagainya, tetapi semua itu berlalu begitu saja, seperti angin, seperti tidak pernah terjadi.

Sejumlah fakta atas apa yang saya tulis ini bisa Anda baca kembali di beberapa tulisan saya yang mengulas tentang SBY sebagai “si Raja Sambal” di Kompasiana, yakni:

1.SBY vs FPI, Siapa yang Menang,

2.SBY si Raja Sambal,

3.Tak Jadi Mengeluarkan Golkar, Gelar si Raja Sambal Semakin Pasti,

4.“Media Australia”: Yudhoyono Ternyata Tukang Sambal

5.        Demokrat vs PKS: Karena Mereka Sedang Ketakutan.

1.

Maka, ketika para kepala dearah itu mengetahui isi pidato Presiden SBY yang mengatakan mereka sebagai pembangkang itu, barangkali akan dengan berani dijawab mereka: “Kalau memang kami pembangkang, terus Presiden SBY mau apa?!” ***

Kutipan pidato SBY yang menyatakan para kepala daerah yang ikut menentang rencana kenaikan harga BBM sebagai pembangakang:

PD melakukan pencerahan, meletakkan kembali dasar-dasar ketatanegaraan yang benar. Kita negara kesatuan dengan sistem presidensial, bukan parlementer, dan federal. Oleh karena itulah, tadi malam saya ingatkan gubernur, bupati, walikota, harus memiliki moral dan etika untuk mematuhi yang jadi kebijakan pemerintah. Presiden sesuai UUD 45 memegang pemerintahan. Gubernur/bupati/walikota adalah kepanjangan presiden, keliru hukumnya.

Bupati/walikota memimpin unjuk rasa, melawan membangkang pemerintahnya. Yang menyedihkan, seruan itu datang dari komunitas politik yang di dalammnya juga pernah menjadi presiden (hadirin tepuk tangan....). Bayangkan, kalau itu terjadi, 2014 presiden ganti, seluruh walikota, bupati dan gubernur dari PD melakukan hal yang sama, kayak apa negara kita ini? Menangis rakyat kita. Itu insubordinasi, itu pembangkangan. Itu pemberontakan, itu perlawanan. Itu tidak mencerminkan sistem negara kesatuan. Federal barangkali, ada domain, kekuasaan pada partai tertentu, kita bukan itu.

Tulisan saya yang berkaitan:

http://politik.kompasiana.com/2012/03/29/ketika-kepala-daerah-melawan-pusat/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun