Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dahlan Iskan, Listrik, Fakfak, dan Bintuni (Papua Barat)

3 November 2011   05:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:07 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah listrik memang sudah puluhan tahun menjadi masalah nasional. Tapi mungkin di Papua yang merupakan bagian bumi Indonesia paling terkaya itu, masalah listriknyajuga yang paling “ter”, terparah.

Masalah listrik hanyalah satu masalah dari setumpuk masalah yangseringkalimembuat orang yang tinggal di Papua merasa dianaktirikan. Terutama penduduk aslinya. Papua sudah masuk NKRI sejak 1969, tetapi sampai hari ini belum juga dirasakan perubahan yang benar-benar signifikan.

Dalam hampir setiap masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan penduduknya, hampir selalu pula ditemukan ironi-ironinya. Bahwa betapa kekayaan bumi Papua itu seolah “tak terhingga”, mulai dari kekayaan hutan, tanahnya yang subur, kekayaan laut, sampai pada kekayaan di dalam perut bumi. Tetapi rata-rata kesejahteraan penduduknya masih banyak yang jauh di bawah batas normal. Terutama sekali penduduk aslinya. Bahkan beberapakali terdapat kasus penduduk aslinya yang mengalami bencana kelaparan.

Ironi tersebut juga terjadi pada masalah kelistrikan.

Begitu seringnya listrik padam di semua kota di Papua membuat seolah-olah kalau satu hari saja hal itu tidak terjadi, merupakan suatu kejadian aneh tapi nyata bagi penduduknya.

Ketika Dahlan Iskan diangkat sebagai direktur utama PLN, saya yang merupakan salah satu orang yang kagum kepadanya, berharap semoga ini merupakan berkah bagi orang di Papua. Tentu saja termasuk keluarga besar saya yang masih banyak tinggal di Papua secara turun-temurun.

Di kota Fakfak, Papua Barat, soal pemadaman listrik itu sudah membuat orang teramat sangat kesal sampai melewati batas ubun-ubun. Tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain mengomel dan marah-marah.

Tidak cukup dengan pemadaman listrik yang pasti setiap hari ada dengan frekwensi rata-rata 3-5 kali, masih ditambah dengan sering terjadinya voltase yang tidak stabil. Akibatnya, sering terjadi juga kerusakan pada perangkat elektronik rumah. Seperti AC, televisi, mesin cuci, kulkas, dan lain-lain. Itu semua tanpa kompensasi apapun.

Repotnya, kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki di sana. Karena tidak ada tempat servis resminya di sana, maupun tempat servis umum lainnya yang sanggup memperbaikinya. Harus kirim ke Surabaya dengan kapal laut, untuk memperbaikinya. Memerlukan waktu paling paling cepat sebulan untuk barangnya bisa diterima kembali dalam keadaan baik kembali setelah diperbaiki di Surabaya.

Ironinya, di Fakfak sampai saat ini sebagaimana juga di kota-kota lainnya di Papua terdapat beberapa perusahaan raksasa asing yang beroperasi mengeksplotasi minyak dan gas, kayu, eksplotasi ikan laut, dan lain-lain yangterdapat di wilayah kabupaten ini.

Kompleks perusahaan-perusahaan raksasa asing ini menjadipengecualian dari pemadaman listrik. Umumnya mereka juga mempunyai unit pembangkit listrik sendiri.

Saat ini di Fakfak sedikitnya ada lima perusahan raksasa seperti itu. Yakni, Altus Oil, Genting Oil, Murphy Semai II Oil, Hess Semai V Limited, Chevron Indonesia Company, dan British Petroleum Indonesia.

Dengan kehadiran 5 perusahaan raksasa ini saja minimal kebutuhan listrik penduduk kota Fakfak yang jumlahnya mungkin sanggup ditampung di Stadion Utama Senayan, Jakarta itu, -- atau tidak sampai 200.000 orang itu, sudah lebih dari cukup. Tetapi faktanya, tidaklah demikian.

Untuk diketahui saja, sebelum Timika menjadi kabupaten tersendiri. Timika beserta proyek maha raksasa PT Freeport Indonesia termasuk wilayah kabupaten Fakfak. Tetapi semua itu tidak membawa dampak positif Fakfak sampai Timika dipisahkan dan berdiri sendiri.

Ketika saya tanyakan kepada saudara-saudara saya di sana, apakah setelah Dahlan Iskan menjadi direktur utama PLN, keadaan ini sudah berubah? Ternyata jawabannya adalah sama sekali belum berubah.

Mungkin karena kejengkelan itu sudah bertahun-tahun tertahankan, setiap kali diajak membahas tentang kelistrikan di Fakfak, jawaban-jawaban mereka seringkali dengan nada emosi.

Apalagi sehari-hari mereka bisa menyaksikan beberapa perusahaan asing yang membangun kantor dan deponya di sana seperti tidak pernah kekurangan listrik. Ketika terjadi pemadaman, di kompleks proyek-proyek tersebut tetap terang-benderang.

Beberapa warga Fakfak pernah bermasalah dengan PLN setempat (PLN Ranting Fakfak). Mereka merasa PLN telah ingkar janji, dan mengabaikan hak-hak mereka sebagai konsumen.Masalah inikemudian diteruskan kepada PLN Cabang Sorong, sampai ke tingkat Provinsi Papua Barat, di Manokwari, tetapi tidak mendapat respon sebagaimana mestinya.

Mereka kemudian meminta saya menulis surat kepada Dirut PLN, Dahlan Iskan, karena mereka mendengar --- antara lain dari saya juga – tentang reputasi Dahlan Iskan yang sedemikian bagusnya.

Saya awalnya menolak permintaan membuat surat itu. Saya bilang, masakan masalah begini sampai harus ke dirut-nya langsung. Nanti pasti dia tidak membalasnya. Bukan karena apa, tetapi karena tentu saja urusan ini terlalu kecil sampai harus ditangani seorang dirut PLN. Bahkan mungkin saja surat itu tak pernah dibaca, saking sibuknya.

Dari hasil membaca saya tahu, bahwa Dahlan Iskan melakukan banyak hal yang belum pernah dilakukan oleh dirut PLN manapun. Antara lain, berkunjung langsung dari daerah terpencil satu ke daerah terpencil lainnya, sampai berhari-hari. Termasuk ke kabupaten Bintuni, yang akan saya kisahkan tentang listrik di sana juga. Sedangkan ke Fakfak, rasanya Dahlan belum pernah ke sana. Pada 2010, hanya transit di Fakfak, ketika melakukan kunjungan kerja ke Sorong, Kaimana, Manokwari, dan Jayapura.

Bikin saja surat pembaca, saran saya. Tetapi karena didesak terus, akhirnya saya membuat surat tersebut pada tanggal 24 Mei 2011. Terbukti kemudian, surat tersebut memang tidak pernah dibalas. Sedangkan mengenai masalah tersebut, akhirnya PLN yang “menang”. Surat yang saya buat itu, saya lampirkan di akhir tulisan ini.

Saya tidak tahu banyak mengenai rencana apa yang akan dilakukan Dahlan Iskan ketika beliau masih menjabat dirut PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik di Fakfak. Yang saya tahu hanya ada rencana pembangunan PLTU di beberapa kota kabupaten di Papua Barat. Fakfak adalah salah satunya. Sayang, sebelum teralisasi, Dahlan Iskan sudah naikpangkat menjadi Menteri BUMN. Semoga dirut PLN yang baru dapat melanjutkan prestasi-prestasi menakjubkan dari Dahlan Iskan ini.

[caption id="attachment_139930" align="aligncenter" width="346" caption="Depo (sub kontraktor) konsorsium dari 5 perusahaan minyak di Pelabuhan Fakfak"][/caption]

*

Di Kabupaten Teluk Bintuni, atau biasanya disebut dengan nama Bintuni, masalah listrik jauh lebih parah lagi.

Enam tahun lalu Kabupaten Bintuni masih termasuk wilayah dari Kabupaten Manokwari. Namun sejak sekitar tahun 2004-2005 dilakukan pemekaran wilayah di beberapa wilayah Papua. Bintuni adalah salah satunya. Ironisnya, dibandingkan antara kondisi dulu (ketika masih menjadi bagian dari Manokwari, yakni Kecamatan Bintuni), atau sedikitnya 6 tahun lalu, dengan kondisi sekarang seolah-olah tidak ada bedanya. Termasuk masalah listrik.

Sudah berbilang dua puluh tahunan, di Bintuni, listrik hanya menyala di malam hari. Tepatnya mulai pukul 7 malam sampai dengan pukul 6 pagi. Sebelumnya, malah belum ada listrik sama sekali. Keadaan ini masih terus terjadi sampai hari ini. Bahkan, kata saudara saya yang tinggal di sana, akhir-akhir ini bertambah parah lagi (jangan-jangan karena Dahlan Iskan sudah tidak menjadi dirut PLN? J ).

Saat ini, hampir setiap malam, ketika waktunya listrik menyala, nyalanya hanya sekitar 10 menit, kemudian mati lagi. Menyala lagi, sekitar 10 menit mati lagi. Setelah itu menyalanya stabil, sampai besok paginya pukul 6 pagi. Selanjutnya, bagi warga Bintuni yang mempunyai generator, generator itu mulai dihiudupkan sampai dengan malam hari ketika listrik PLN dialirkan lagi. Begitu seterusnya setiap hari selama bertahun-tahun lamanya.

Bahkan pada Senin sampai dengan Selasa, tanggal 30 – 31 Oktober 2011 lalu, listrik PLN mati total. Selama dua hari penuh Bintuni tidak ada aliran listrik PLN sama sekali. Katanya, karena solar habis. Kejadian seperti ini bukan pertama kali terjadi, tetapi sudah sering. Kadang-kadang listrik mati sampai seminggu penuh! Masih mendingan warga yang mempunyai generator. Bagaimana dengan yang tidak punya? Bagaimana dengan barang-barang makan yang telanjur disimpan di kulkas atau frezeer? Bagi orang Bintuni, PLN masih singkatandari Perusahaan Lilin Negara.

Saudara saya bilang, “Bintuni itu sudah menjadi kabupaten 6 tahun, tetapi tidak ada bedanya dengan desa terpencil.Setiap hari stress dengan PLN. Bikin makan hati!” Apalagi dia punya toko, yang antara lain juga menjual makanan-makan beku.

Padahal seperti juga kota-kota lainnya di Papua, di Bintuni juga terdapat banyak perusahaan raksasa asing. Salah satunya adalah British Petroleum dengan proyek LNG-nya yang termasuk terbesar di dunia. Lokasinya di Distrik Babo, biasa disebut Proyek Tangguh. Begitu pentingnya Proyek Tangguh ini sampai-sampai Pangeran William dari Inggris pernah khusus berkunjung ke lokasi proyek itu.

Selain BP, masih ada beberapa perusahaan raksasa lainnya, yang bergerak di bidang pengeboran minyak dan gas, batu bara, perikanan, perkayuan, dan lain-lain. Ada PT Bintuni Utama Murni, PT Manokwari Mandiri Lestari, PT Hastra Pasifik Papua, PT Teluk Bintuni Mina Argo, PT Yotefa Sarana Timber, dan lain-lain. Semua proyek tersebut hasilnya secuil pun tidak diperuntukkan bagi warga lokal. Semua diekspor ke berbagai negara.

Ironi yang umum terjadi di Papua adalah, misalnya, banyak terdapat perusahaan kayu di sana. Seperti pabrik tripleks.Tetapi, semuanya untuk diekspor. Sedangkan semua kebutuhan tripleks di Papua sendiri masih harus didatangkan dari Pulau Jawa, terutama dari Surabaya.

Dengan begitu banyaknya perusahaan raksasa asing bertebaran di setiap kota di Papua tentu saja sangat ironi, kalau kota-kota itu masih saja kekurangan listrik. Dua di antaranya adalah Fakfak dan Bintuni. Itu baru listrik, belum lagi yang lain seperti BBM, air PDAM, prasarana jalan, dan lain-lain.

Saya tanya kepada saudara saya yang di Bintuni, saya dengar Dahlan Iskan sudah pernah ke Bintuni, apakah sudah ada perubahan? Agustus 2011 lalu, Dirut PLN Dahlan Iskan memang pernah ke Bintuni dalam perjalanan lima harinya menjelajah Sorong-Bintuni-Nabire-Timika-Wamena-Digul-Merauke-Jayapura.

Saudara saya jawab, dia tahu kalau Dahlan Iskan ada datang (maklum Bintuni adalah sebuah kota yang sangat kecil, sedangkan nama Dahlan Iskandan sudah tenar sampai ke sana), tetapi sampai sekarang belum ada perubahan apapun. Bahkan tanggal 30 dan 31 Oktober listrik PLN mati total. “Dua hari penuh tidak ada listrik!” katanya dengan nada kesal.

Tetapi kemudian dia melanjutkan bahwa dengar-dengar Dahlan Iskan telah meminta agar Proyek Tangguh yang dikelola BP mau menjual bahan bakar gasnya ke PLN untuk membangun pembangkit listrik di sana. “Kalau tidak salah dengar, katanya akhir tahun ini sudah mulai dikerjakan,” katanya.

Dalam sebuah tulisannya, Dahlan Iskan mengakui semua ironi tersebut.

Dalam tulisannya yang berjudul, Ironi di Bintuni, Mummi Listrik di Digul, menggambarkan apa yang dia sendiri saksikan dan rasakan di sana. Khususnya menyangkut ketersediaan listriknya.

Seperti yang sayatulis di atas, saudara saya yang di Bintuni bilang: “Bintuni ini sudah 6 tahun menjadi kabupaten, tetapi masih seperti desa terpencil saja!” Benar-benar dirasakan oleh Dahlan Iskan.

Di Bintuni, sebuah kota kabupaten ternyata belum ada PLN-nya! Selama ini listrik masih dikelola oleh pemerintah daerah setempat melalui proyek listrik desa (lisdes). Ketika dia tiba di Bintuni, kebetulan listrik sedang padam. Bukan baru hari dia tiba saja, tetapi sudah 10 hari! Ini karena pemda sudah tidak mampu lagi membeli minyak untuk menjalankan genset-gensetnya.

Berikut ini saya kutip bagian tulisan dari Dahlan Iskan itu khususnya yang mengenai listrik di Bintuni:

Begitu luas wilayah Papua. Begitu minim fasilitas listriknya. Ada ironi pula di dalamnya. Bintuni contohnya.Ketika saya bermalam di Bintuni, listrik lagi padam di kabupaten yang kaya dengan gas, minyak, dan batubara ini. Bahkan, sudah 10 hari. Ini karena pemda tidak mampu lagi membeli minyak untuk menjalankan genset-gensetnya. PLN memang belum hadir di sini. Listriknya masih ditangani pemda. PLN belum punya apa-apa. Jaringan listriknya pun milik Lisdes. Hanya ada satu orang PLN di seluruh kabupaten itu. Tugasnya membeli listrik milik pemda, menyalurkannya lewat jaringan milik Lisdes, dan menagih rekening bulanannya.

Pemda sudah kewalahan. Untuk melistriki Kota Bintuni, pemda harus membeli BBM Rp 80 miliar/tahun. Tidak banyak lagi dana yang bisa dipakai untuk membangun daera

Padahal, kabupaten ini berkembang pesat sejak ditemukan gas alam yang gila-gilaan besarnya. Sudah ada bandara kecil di Bintuni. Tiap hari ada pesawat Susi Air jurusan Sorong dan Manokwari

Yang lebih terasa ironi adalah ini: 50 km dari Kota Bintuni, masih berada di wilayah Kabupaten Bintuni, ada sebuah kota baru yang hanya boleh dihuni oleh staf dan karyawan yang luar biasa terang-benderangnya. Ada pembangkit listrik yang sangat besar di kompleks ini. Inilah kompleks industri LNG Tangguh, milik perusahaan asing BP Tangguh.

Perusahaan itulah yang menemukan gas alam dalam jumlah besar, 1.000 bbtud, di Teluk Bintuni. Agar mudah diangkut ke luar negeri, gas tersebut semuanya diproses menjadi benda cair (LNG). Tidak sedikit pun disisakan untuk keperluan masyarakat setempat. Semuanya dikirim ke Tiongkok dan California, USA

Jalan pikiran seperti itu memang terjadi hampir di semua proyek besar serupa. Termasuk ketika PLN membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besar. Tidak ada konsep menyisihkan sebagian kecil produksinya untuk keperluan setempat. Akibatnya banyak desa yang lokasinya di sebelah PLTA besar justru gelap gulita. Ini yang sedang kami koreksi. PLTA-PLTA baru sudah diputuskan untuk memasukkan sistem kelistrikan bagi desa terdekat. PLTA Peusangan di Aceh, PLTA Asahan-3 di Sumut, PLTA Baliem-2 di Wamena dan beberapa proyek lagi, perencanaannya sudah mengakomodasikan koreksi tersebut.

Koreksi serupa mestinya juga bisa dilakukan di Bintuni. Setelah salat tarawih di Bintuni saya bertemu bupati, wakil bupati dan ketua DPRD Bintuni. Sambil dijamu makan malam dengan menu utama keladi dan pisang kukus disertai lauk kepiting dan udang Teluk Bintuni. Di meja makan itulah kami bicarakan jalan keluar untuk listrik Bintuni. Tiga alternatif kami sampaikan untuk bisa segera dilaksanakan oleh PLN.

Pertama, PLN akan minta barang dua sendok gas dari proyek LNG Tangguh. Kalaupun tidak ada lagi sisa, setidaknya PLN bisa minta gas yang setiap hari dibakar di menara bakar itu (flare gas). Kalau permintaan dua sendok itu dikabulkan, PLN akan membangun pembangkit kecil berbahan bakar gas di dekat proyek LNG Tangguh. Dari sini listrik dialirkan dengan kabel bawah laut 20 kV menyeberang ke Kota Bintuni. Atau gas tersebut kami kirim ke Bintuni dengan sistem compressed natural gas (SNG). Kalau permintaan itu dikabulkan, dalam hitungan delapan bulan Bintuni sudah akan terang benderang.

Sikap pejabat tinggi BP Migas itu ternyata sangat baik. Ketika saya mendarat di Nabire, ada SMS masuk. Isinya sangat menggembirakan. BP Migas mendukung gagasan PLN untuk mendapatkan barang dua sendok gas dari BP Tangguh. Sambil mengemudikan mobil menuju lokasi proyek pembangunan PLTU di Nabire, saya tidak henti-hentinya bersyukur. “Ini demi NKRI, Pak,” tulis SMS dari pejabat tinggi BP Migas itu. Saya bayangkan betapa senangnya masyarakat Bintuni kelak.

....

(kutipan selesai)

Harapan Dahlan Iskan itu sampai hari ini belum terkabul.

Masyarakat Bintuni masih belum senang, masih suka marah-marah kalau ditanya tentang listrik. Tetapi mudah-mudahan saja harapan tersebut akan benar-benar terkabul ketika BP Migas benar-benar memenuhi janjinyakepada Dahlan sebagaimana diutarakan dalam tulisan Dahaln itu. Meskipun terasa ironis juga proses perjuangan Dahlan itu. Seolah-olah seperti mengemis kepada BP Migas, padahal yang punya kekayaan alam gas cair itu adalah bangsanya sendiri.

Bagaimanapun dari pengalaman yang diutarakan Dahlan ini, kita patut semakin kagum dengan gaya manajerialnya yang begitu hebat. Benar-benar seperti kata orang Dahlan selalu saja mempunyai daya kreasi, inovasi, pikiran dan pandangan luas yang orang lain tidak berpikir, atau melihatnya. Atau bahasa kerennya “thingking outside of box”.

Semoga sepeninggalan Dahlan Iskan menjadi Menteri BUMN, dirut PLN yang baru, Nur Pamudji mampu dan mau melanjutkan program-program kerja Dahlan yang belum terselesaikan. Terutama untuk listrik-listrik di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Seperti kota-kota di Papua yang serba kaya hasil buminya, tetapi selalu bermasalah dengan listriknya.

Kita harapkan ironi-ironi seperti ini tidak lagi terjadi. Bukan hanya listrik, tetapi juga permasalahan lainnya, agar kesejahteraan masyarakat di Papua, dan daerah lainnya benar-benar tidak terjadi lagi. ***

Lampiran:

-Surat yang saya buat dan dikirim kepada Dahlan Iskan, yang waktu itu adalah Dirut PLN. Tentang perselisihan antara beberapa warga Fakfak dengan PLN setempat.

Fakfak, 20 Mei 2011

Kepada Yth.

Bpk Dahlan Iskan

Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero)

di

Tempat

Dengan hormat,

Kami, 14 pelanggan PLN jauh-jauh dari Fakfak, Papua Barat terpaksa mengirim surat pengaduan ini langsung kepada Bapak Dirut, karena sampai di tingkat Provinsi, yakniBSI PT PLN (Persero) Wilayah Papua dan Papua Barat di Jayapura, permasalahan yang kami hadapi belum diselesaikan secara baik sesuai dengan hak kami sebagai konsumen/pelanggan PLN.

Besar harapan kami, Bapak Dirut menaruh perhatian terhadap permasalahan kami ini. Karena dalam kasus ini pihak PLN Fakfak telah melakukan wanprestasi, namun ketika kami mengajukan keberatan/komplain lisan, maupuntertulis, ditolak. Bahkan kasus ini telah disampaikan ke PT (Persero) PLN Cabang Sorong, dan BSI PT PLN (Persero), memperoleh respon yang sama, yakni keberatan kami tidak diterima dengan alasan yang tidak logis.

Kronologis kasus ini adalah sbb:

1.Kami, 14 pemilik ruko baru telah mengajukan pemasanganinstalasi listrik baru kepada PLN Fakfak. Oleh PLN Fakfak diajukan syarat bahwa pemasangan dapat dikabulkan untuk permohonan pemasangan sebesar minimal 16 Ampere atau 3.500 Watt per ruko.

Persyaratan tersebut kami terima, dengan pengajuan tertulis permohonan pemasangan instalasi listrik baru sebesar 16 Ampere/3.500 Watt/ruko. Semua persyaratan telah kami penuhi termasuk membayar lunas biaya pemasangan baru untuk 3.500 Watt;

2.PLN Fakfak kemudian melakukan pemasangan instalasi listrik di ruko kami masing-masing itu dengan besaran kapasitas 3.500 Watt. Hal ini dapat dilihat dengan terpasangnya MCB di meteran listrik sebesar 16 Ampere;

3.Namun ternyata kemudian tanpa sepengetahuan kami semua Pihak PLN Fakfak secara sepihak dan diam-diam telah melakukan penurunan daya pada ruko-ruko kami itu menjadi hanya 900 Watt;

4.Hal ini baru kami ketahui setelah salah satu dari kami mengajukan permohonan penambahan daya menjadi 4.400 Watt. Oleh pihak PLN Fakfak dikenakan biaya berdasarkan hitungan dari 900 Watt ke 4.400 Watt, bukan dari 3.500 Watt ke 4.500 Watt;

5.Ketika kami bersama-sama mendatangi kantor PLN Fakfak, kami diberi penjelasan bahwa kami diikutkan dalam Program PLN 450+. Dalam program tersebut berlaku ketentuan bahwa apabila dalam periode tertentu tidak ada pemakaian listriknya, maka pihak PLN akan secara sepihak menurunkan daya listrik tersebut.

6.Tentu saja kami sangat kaget dengan penjelasan tersebut. Karena sebelumnya tidak ada informasi apapun yang kami dapatkan dari PLN Fakfak tentang adanya program ini. Lagipula kami semua telah membayar lunas biaya pemasangan baru instalasi listrik untuk daya 3.500 Watt.

Perlu pula diketahui bahwa ruko-ruko tersebut adalah ruko yang baru selesai dibangun, sehingga wajar belum menggunakan listriknya secara optimal;

7.Bagi kami pihak PLN Fakfak jelas telah bertindak semena-mena, dengan melanggar hak-hak kami sebagai konsumen/pelanggan PLN, dan bertindak wanprestasi karena menjalankan kewajibannya tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati,sebagaimana diterangkan pada angka 1;

8.Pada waktu itu pula kami diminta membuat surat keberatan tentang hal ini ditujukan kepada Kepala PLN Ranting Fakfak. Surat tersebut kami buat dan serahkan kepada Kepala PLN Fakfak pada tanggal 15 Maret 2011 (terlampir);

9.Kemudian kami mendapat jawaban tertulis dari PLN Fakfak dengan surat tertanggal 06 Mei 2011yang isinya mengatakan bahwa keberatan kami telah diteruskan sampai kepada PLN Kanwil Papua dan Papua Barat di Jayapura, dan bahwa keberatan kami itu ditolak dengan alasan keberatan diajukan telah melebihi batas waktu 2 bulan (dari waktu penurunan daya secara sepihak oleh PLN Fakfak) (kopi surat terlampir).

Alasan penolakan tersebut sangat tidak logis. Karena bagaimana bisa berlaku batas waktu tersebut kepada kami kalau kami sama sekali tidak pernah diberitahu sebelumnya bahwa ada Program PLN 450+ tersebut, dan kami pun sama sekali tidak pernah diberitahu bahwa instalasi listrik di ruko-ruko kami itu pun telah diberlakukan program tersebut secara sepihak oleh PLN Fakfak.

Kami hanya tahu bahwa instalasi listrik di ruko-ruko kami itu semua terpasang masing-masing dengan daya 3.500 Watt, sesuai dengan kontrak yang telah kami penuhi, termasuk membayar lunas semua biayanya itu kepada pihak PLN Fakfak.

PLN Fakfak pun sudah memasang instalasi listrik di ruko kami tersebut masing-masing dengan daya 3.500 Watt sesuai dengan MCB terpasang. Kenapa bisa tiba-tiba menjadi 900 Watt, dan ketika kami ajukan keberatan, ditolak dengan alasan telah lewat 2 bulan dari waktu penurunan daya secara sepihak oleh PLN Fakfak itu. Ini banr-benar sangat tidak masuk akal!Pihak PLN seenaknya sendiri melanggar kontrak, tetapi malah kami yang disalahkan.

10.Dalam surat jawaban tersebut kami juga diberi 2 opsi solusi, yakni:

oPerubahan daya gratis menjadi 2.200 Watt dengan batas waktu sampai Juni 2011, atau

oBebas biaya jaminan instalasi untuk perubahan daya sampai 4.400 Watt sampai akhir Desember 2011.

Penawaran 2 opsi solusi tersebut membuktikan bahwa pihak PLN tidak punya komitmen dan tidak menghargai kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Melakukan wanprestasi, dan melanggar hak-hak kami sebagai konsumen/pelanggan PLN yang sebelumnya telah memenuhi semua persyaratan pemasangan listrik dengan daya 3.500 Watt dan telah diterima PLN Fakfak,sebagaimana telah diterangkan di atas.

Tentu saja, penawaran 2 solusi tersebut kami tolak. Yang kami kehendaki sekarang hanyalah pihak PLN Fakfak mempunyai komitmen untuk kembali kepada kontrak semula dengan mengembalikan hak kami untuk daya listrik 3.500 Watt di ruko kami masing-masing itu, tanpa biaya dan syarat apapun lagi.

Demikian surat yang merupakan suara hati kami pelanggan PLN dari Fakfak, Papua Barat ditujukan kepada Bapak Dirut, dengan sangat besar harapan diberi perhatian seperlunya.

Kami sangat menghargai Bapak Dirut Dahlan Iskan yang kami tahu sangat tinggi integritas dan komitmennya dalam memberi yang terbaik bagi para pelanggan PLN di seluruh Indonesia.

Terima kasih.

Hormat Kami

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun