Harapan untuk segera dituntaskan revisi Undang-Undang Anti-Terorisme itu  juga sudah lama datang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk yang sekarang, dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).
Ketua Pansus yang Kontroversial
Namun seperti juga setahun yang lalu, ketika desakan percepatan revisi Undang-Undang Anti Terorisme itu mengemuka, sikap DPR, khususnya partai-partai oposisi Pemerintah adalah reaktif dan defensif. Tidak menyambut baik keinginan Presiden dan Kapolri itu, tetapi justru membela diri sebagai bukan pihak yang membuat pembahasan revisi Undang-Undang itu tidak kunjung selesai, dan justru menyalahkan Pemerintah sebagai penyebabnya.
Terutama sekali dari Partai Gerindra, yang kadernya, Muhammad Syafi'I -- sesuatu yang kontradiksi -- menjadi Ketua Pansus Rancangan Perubahan Undang-Undang Anti-Terorisme itu.
Bahkan ia bereaksi keras ketika mendengar Kapolri Tito Karnavian meminta Presiden Jokowi terbitkan Perppu jika nanti revisi Undang-Undang Anti Terorisme itu belum juga tuntas, dengan meminta Tito mundur sebagai Kapolri karena tidak becus menangani masalah terorisme di Indonesia.
"Jangan lindungi ketidakbecusannya memimpin institusi dengan (minta) Perppu. Sepatutnya dia mundur dari Kapolri biar digantikan orang yang benar-benar profesional yang mampu dengan Undang-Undang yang ada, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003," kata Syafi'i, Minggu (13/5).
Sedangkan kepada Presiden Jokowi, Syafi'I menuding Jokowi salah alamat meminta DPR mempercepat penyelesaian  revisi Undang-Undang itu karena  justru dari pihak Pemerintah-lah yang menyebabkan RUU Perubahan tentang Anti-Terorisme itu belum bisa disahkan karena belum belum sepakat tentang definisi terorisme.
Definisi terorisme yang diusulkan Pemerintah adalah:
"Segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."
Sedangkan berdasarkan rapat terakhir DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU Anti-Terorisme yang baru, Â pada 18 April 2018, yang diinginkan DPR adalah mempersempit definisi tindakan terorisme dengan menambahkan frasa "tujuan atau motif politik, ideologi, dan tindakan mengancam keamanan Negara".
Dengan usulan frasa baru itu, poin yang diperdebatkan adalah perlu atau tidaknya penegasan bahwa suatu tindakan terorisme harus didasari motif politik, ideologi, dan tindakan yang mengancam keamanan negara. Pemerintah memandang penegasan seperti itu tidak perlu, tetapi sejumlah fraksi partai politik di DPR menilai perlu.