Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kemustahilan yang Dilakukan Presiden Jokowi di Papua

20 Oktober 2016   01:02 Diperbarui: 4 April 2017   17:36 13714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Presiden Jokowi memayungi Gubernur Papua Barat Lukas Enembe yang menjadi viral (Merdeka.com)

Selasa, 18 Oktober 2016, di Kabupaten Yahukimo, Papua, Presiden Jokowi telah melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya, -- seandainya mereka masih menjabat, yaitu memutuskan pada hari itu juga harga BBM di Papua disamakan dengan harga BBM di seluruh Indonesia, yaitu bensin Rp. 6.450 per liter, dan solar Rp. 5.450 per liter.

Sebelumnya, selama puluhan tahun, di Papua, terutama di kota-kota di daerah pegunungan/pedalaman harga BBM bisa sampai 20 kali lipat dari harga normal yang berlaku di seluruh Indonesia.

Ketika harga nasional premium Rp. 6.450 per liter, di Papua, terutama di daerah pegunungan/pedalaman, mencapai Rp. 20.000 sampai dengan Rp. 100.000 per liter.

Presiden-presiden sebelumnya, termasuk SBY, yang 10 tahun menjadi Presiden, tetapi sangat jarang ke Papua itu, tak mungkin melakukannya, karena mereka tidak punya perhatian yang sungguh-sungguh serius kepada nasib orang Papua yang selama puluhan tahun hidup menanggung sengsara dengan infra struktur yang serba minim dan dengan ekonomi biaya tinggi di atas tanah mereka yang sangat kaya.

Terhadap masalah-masalah infrastruktur, transportasi, dan ekonomi di Papua ini  pun Presiden Jokowi telah menaruh perhatian yang sangat besar dan serius, dengan tak memerlukan waktu lama untuk melaksanakannya, seperti program tol laut, pembangunan infrastruktur jalan (trans-Papua), pelabuhan laut dan udara, dan pembangunan pusat tenaga listrik.

Presiden-presiden sebelumnya lebih fokus perhatiannya tentang bagaimana caranya pemerintah pusat bisa mengeksplorasi kekayaan alam Papua sebesar-besarnya untuk pembangunan di Pulau Jawa yang minim kekayaan alamnya, sedangkan untuk Papua cukup remah-remah dari hasil eksplorasi kekayaan alamnya itu yang dikembalikan kepada meraka.

Presiden-presiden sebelumnya tak mungkin melakukan seperti Jokowi lakukan, karena mereka berpikir untung-rugi pemerintah pusat ketika harus membangun Papua, termasuk di dalamnya untuk mensejahterakan orang-orang Papua. Mereka lupa betapa besarnya kekayaan alam Papua yang sudah dan sedang dieksplorasi selama ini.

Maka itulah, selama ini biaya angkut BBM yang sangat mahal di daerah pedalaman Papua karena harus diangkut lewat udara itu pun dibebankan kepada rakyat Papua, pemerintah pusat dengan Pertamina-nya tidak mau rugi.

Biaya angkut BBM termahal di Papua adalah di Kabupaten Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya yang mencapai Rp. 29.000 per liter;  jadi biaya angkutnya 6 kali lebih mahal dari harga BBM itu sendiri.

Karena itulah, ketika Presiden Jokowi pertama kali menggagaskan untuk menyamakan harga BBM di Papua dengan harga BBM di seluruh Indonesia, Dirut Pertamina buru-buru mengingatkannya, Pertamina akan menderita kerugian Rp. 800 miliar pertahun  kalau harus menanggung ongkos angkut BBM itu.

Atas pernyataan Dirut Pertamina itu, Jokowi pun menjawab – sebagaimana disebut di dalam pidato singkatnya saat meresmikan Bandara Nop Goliat Dekai, Yahukimo itu: “Ini bukan masalah untung dan rugi, ini adalah masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!”

Ya, Jokowi secara dengan sangat tepat menjawab, inilah saatnya pemerintah pusat mengamalkan sila ke-lima dari Pancasila kepada rakyat Papua.

Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menyinggung mengenai sikap rakyat Papua yang selama ini pasrah menerima saja harga BBM yang luar biasa mahalnya itu, berbeda jauh dengan masyarakat di daerah lain (terutaam di Jawa, lebih-lebih lagi di Jakarta),  yang jauh lebih maju dan sejahtera hidupnya; harga BBM dinaikkan Rp. 1.000 per liter saja, langsung menolak dengan melakukan unjuk rasa besar-besaran.

Jauh sebelum Jokowi menyinggung tentang ini, masyarakat Papua sudah lama sering merasa heran dengan sikap manja dan cengengnya masyarakat di Jawa, terutama di Jakarta, yang setiap kali harga BBM dinaikkan pemerintah, langsung mengamuk, diprotes dengan unjuk rasa besar-besaran, sampai menuntut Presiden Jokowi mundur segala, bahkan tak jarang berujung pada unjuk rasa yang anarkis. Lebih ironis lagi itu lebih sering dilakukan oleh massa mahasiswa yang nota bene lebih terpelajar daripada rata-rata rakyat Papua.

Seolah-olah dengan kenaikan harga BBM Rp. 1.000 per liter itu segera membuat mereka semua menderita jatuh miskin, hidup sengsara, padahal kalau beli rokok dan pulsa ponsel yang jauh lebih tinggi harganya, bukan masalah.

Namun demikian, bukan berarti pula Jokowi tidak mau tahu dengan kerugian yang harus ditanggung BUMN itu.

Jokowi tahu bahwa dibandingkan dengan hak istimewa yang diperoleh Pertamina dari pemerintah, dan keuntungan yang diperolehnya dari berbagai sektor lainnya, selama ini, kerugian Rp. 800 miliar itu relatif menjadi tidak berarti, karena bisa ditutupi dengan cara subsidi silang, keuntungan pun masih tetap besar bagi Pertamina.

“Rp, 800 miliar itu terserah dicarikan subsidi silang dari mana. Itu urusan Pertamina,: yang penting masyarakat Papua kini bisa menikmati harga premium yang sama dengan saudara-saudaranya di Jawa, merupakan bentuk pelayanan pemerintah Pusat kepada meraka yang tanahnya selama pulihan tahun diekplotasi untuk membangun Jawa.”, kata Jokowi dalam sambutannya di Yahukimo itu.

Jokowi sangat benar, apalagi jika dibandingkan dengan ribuan triliun kekayaan alam Papua yang selama puluhan tahun dan masih berlangsung terus sampai sekarang, dieksplorasi oleh pemerintah pusat demi membangun Jawa, kerugian Rp. 800 miliar per tahun itu hanyalah berupa uang receh saja.

Apalagi konsumsi premium di Papua terbilang relatif kecil jika dibandingkan dengan daerah lainnya.

Berdasarkan data dari harian Kompas, konsumsi premium di Papua Barat rata-rata 9.640 kiloliter, dan solar 3.718 kiloliter per bulan, sedangkan di Papua rata-rata 20.339 kiloliter premium dan 8.269 kiloliter solar per bulan.

Bandingkan dengan konsumsi premium di DKI Jakarta saja, yang sekitar 4.000 kiloliter per hari!

Jokowi juga tak membiarkan Pertamina bekerja sendiri, dengan sokongan dari pemerintah pusat berupa pesawat khusus angkutan BBM, Air Tractor AT-802, yang dioperasikan oleh Pelita Air, anak usaha Pertamina.

Satu pesawat Air Tractor AT-802 itu mampu mengangkut 4 ribu liter BBM. Saat ini baru ada dua unit pesawat itu, tetapi Jokowi sudah berjanji bahwa Pemerintah akan segera menambahnya menjadi lima unit, khusus dioperasikan di Papua dan Kalimantan Utara.

Uang dari mana diperoleh pemerintah Pusat untuk membeli pesawat-pesawat itu, kalau bukan dari hasil dari penghilangan subsidi BBM yang diberlakukan sejak pemerintahan Presiden Jokowi berjalan itu?

Sekali lagi, Jokowi membutkikan bahwa dia adalah sosok Presiden yang sungguh-sungguh mengabdi kepada rakyatnya, pada konteks ini, kepada rakyat di Papua. Hanya dalam dua tahun sejak menjadi Presiden, Jokowi sudah empat kali datang ke Papua dengan berbagai program dan mega proyeknya untuk memajukan dan mensejahterakan Papua.

Cara berpikirnya dalam mengatasi berbagai masalah rakyat pun kerap “out of the box”, yang tak terpikirkan oleh kebanyakan orang, dengan hasil yang luar biasa yang mulai terasa sekarang.

Hanya Presiden yang punya karakter merakyat dan rendah hatinya seperti Jokowi-lah yang membuat dia bisa secara spontan, tanpa memandang kedudukannya sebagai Presiden, orang Nomor Satu di Republik ini, justru yang memayungi Gubernur Papua Lukas Enembe, sebagaimana fotonya saya gunakan sebagai ilustrasi artikel ini. *****

Artikel terkait:

Mempertanyakan Efektivitas Tol Laut Jokowi

Saya Bilang, Jokowi Harus Blusukan ke Fakfak

Tol Laut, Supaya Orang Papua Tidak Minum Air Sungai dan Air Hujan Lagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun