Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Nasional, Hanya Indonesia yang Bisa Begini... Tragis!

18 Mei 2014   07:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 3489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_307453" align="aligncenter" width="496" caption="Mendikbud M. Nuh (kanan) didampingi Kepala Balitbang Kemendikbud Khairil Anwar Notodiputro (kiri) saat memberikan keterangan kepada wartawan mengenai hasil kelulusan ujian nasional tingkat SMP untuk tahun 2013 di Kantor Kemendikbud, Jakarta (31/5). ANTARA/Reno Esnir /Tempo.co"][/caption]

Diduga karena frustasi merasa tidak bisa mengerjakan soal Matematika Ujian Nasional (UN) SMP, Leony Alvionita (14),  seorang siswi kelas III SMP Negeri 1 Tabanan, Bali, sepulang dari sekolahnya melakukan bunuh diri (gantung diri) di rumahnya pada Selasa, 6 Mei 2014.

Kisah tragis ini merupakan sebagian kecil saja dari berbagai masalah ruwet yang selalu ada saja di setiap tahun penyelenggaraan UN. Kasus bunuh diri pelajar karena tak tahan menahan tekanan psikologis dalam mengikuti UN itu bukan baru pertama kali ini saja terjadi. Tetapi di UN-UN sebelumnya juga pernah beberapakali terjadi.

Sebagai contoh saja, pada 28 April 2010, Wahyu Ningsih (19), siswi sebuah SMKN di Muaro Jambi tewas bunuh diri dengan cara menelan racun jamur tanaman. Ironisnya dia adalah peraih nilai UN tertinggi di sekolahnya untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tetapi, ketika mengetahui bahwa dia gagal di ujian Matematika, siswi itu syok, kemudian memutuskan bunuh diri (Kompas.com).

Pada 18 Mei 2013 Fanny Wijaya (16), siswi SMP PGRI Pondok Petir, Bojongsari, ditemukan ibunya tewas gantung diri di rumahnya, di Depok. Polisi menduga, korban gantung diri karena takut tak lulus UN (Tempo.co).

Pada 24 Mei 2013,  seorang siswi SMA nekat bunuh diri dengan terjun ke Sungai Cisadane, Kota Tangerang, Banten. Diduga kuat karena dia tidak lulus UN. Seorang laki-laki yang kebetulan lewat di sana bermaksud menolong siswi itu, ikut terbawa arus dan menghilang terbawa arus deras sungai (Rimanews.com).

Setiap tahun, UN selalu saja menjadi bahan kontraversi, perdebatan tak habis-habisnya antara pro-kontra keberadaannya, dan selalu saja disertai dengan berbagai masalah ruwet, mulai dari persoalan pendistribusian soal, materi soal, bocoran soal, kecurangan dalam pengerjaan soal, jual-beli soal dan kunci jawaban, peserta ujian yang menderita stres, depresi, sampai kasus bunuh diri sebagaimana kasus terakhir di Tabanan, Bali itu.

Bagaimana para pelajar peserta UN itu tidak mengalami stres dan depresi kalau panitia penyelenggaranya saja sampai dengan Menteri Pendidikan dan kebudayaannya (Mendikbud) Muhammad Nuh sendiri malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Sudah lama yang kontra-UN menyatakan, UN itu tidak diperlukan. Alasannya, mengingat kualitas pendidikan nasional yang belum merata di seluruh Indonesia. Kualitas pendidikan di kota-kota besar, misalnya, yang sebagian besar terdapat di Pulau Jawa, jauh lebih tinggi daripada di daerah-daerah. Tetapi, pihak Kemendikbud-nya tetap bersikeras UN harus jalan terus. Bahkan standarnya ditingkatkan lagi, yang menurut Muhammad Nuh, soal-soal UN itu sudah bertaraf internasional, yang membuat peserta UN semakin tertekan. Setiap masalah yang ada selalu ditanggapi dengan berbagai alasan pembenaran untuk menghindari diri dari tanggung jawab.

Pernyataan Mendikbud bahwa dia akan bertanggung jawab jika penyelenggaraan UN bermasalah, atau berjanji suatu kasus tidak akan terulang lagi, hanya pemanis di bibir saja. Ketika masalah datang, misalnya ketika terjadi kekacauan pendistribusian soal-soal UN SMA yang lalu, dia malah menyalahkan anak buahnya. Begitu juga dalam kasus munculnya soal ujian Bahasa Indonesia di UN SMA yang ada soal mengenai Gubernur DKI Jakarta yang saat ini adalah juga calon presiden dari PDIP, Jokowi.  Muhammud Nuh meminta maaf, dan berjanji di UN SMP tidak akan ada lagi soal serupa (tentang Jokowi). Kenyataannya, di UN SMP, soal ujian Bahasa Indonesia tentang Jokowi muncul lagi. Tetapi, sang Menteri bersikap seolah-olah tidak pernah mengucapkan janjinya itu. Dia membiarkan masing-masing sekolah menyelesaikannya dengan cara-caranya masing-masing.

Akibat tidak adanya tindakan antisipatif tersebut, upaya-upaya “pembersihan” soal ujian tentang Jokowi yang sudah terlanjur tercetak itu justru membuat kekisruhan baru, yang ujung-ujungnya membuat siswa-siswi peserta UN SMP itu bertambah bingung dan stress. Menurut laporan dari Federasi Serikat Guru Indonesia, banyak keluhan dari berbagai daerah bahwa banyak anak dilaporkan sampai menangis seusai ujian (Majalah Tempo, 12-18 Mei 2014).

Tempo menulis, di Bandung, misalnya, untuk mengatasi kasus masih adanya soal tentang Jokowi itu, guru pengawas menggantinya dengan lembaran soal baru. Di Bengkulu, beberapa nomor soal diblok putih dan ditempel soal yang baru. Di Bogor, soal nomor 13 dan 14 lenyap, padahal di lembaran jawabannya ada nomor 13 dan 14.

Kekacauan lain, di Jakarta dan sekitarnya, petunjuk yang disodorkan ke siswa lebih runyam. Mereka diminta mengerjakan sejumlah soal dari naskah yang “tidak bersampul” dan nomor-nomor yang lain dari naskah “bersampul”. Perintah ini semakin sulit dimengerti dengan ketentuan bila ada nomor soal yang sama “antara naskah bercover dan naskah tidak bercover, maka yang dikerjakan hanya soal dari naskah yang tidak bersampul.” Satu lagi yang membingungkan: setelah selesai, peserta ujian diminta memasukkan naskah yang “bernomor” ke dalam naskah yang “tidak bernomor”.

Kelihatannya, yang menulis ketentuan itu tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kita, yang sudah dewasa saja, puyeng membaca ketentuan seperti ini. Entah apa maksudnya, dengan kalimat-kalimat petunjuk di atas, yang membeda-bedakan istilah “bercover/tidak bercover”, “bersampul/tidak bersampul”, “bernomor/tidak bernomor”. Apa bedanya antara “cover” dan “sampul”? Apakah “cover” itu bahasa Indonesia yang baku, jawabnya tentu, tidak, tetapi kenapa dipakai justru di ketentuan ujian Bahasa Indonesia?

Siswa tentu memerlukan penjelasannya, sementara itu pasti waktu ujian itu berjalan terus. Tidak heran mereka yang sudah mempersiapkan diri berbulan-bulan sebelumnya dengan perasaan tegang dan khawatir, menjadi semakin tertekan jiwanya, bagaimana bisa mengerjakan soal-soal ujiannya dengan penuh konsentrasi? Belum lagi, kalau mereka mengikuti berita-berita kesemrawutan UN di berbagai media massa. Orang dewasa saja bisa menangis, apalagi anak-anak seperti siswa-siswi SMP/SMA itu.

Maka itu, kita patut mempertanyakan, apa alasan substantif dari kekerasan hati pihak Kemendikbud dengan terus mempertahankan adanya UN ini, kalau hal itu malah menimbulkan kekisruhan, kesemrawutan dan menderitanya para pelajar kita? Dari UN ke UN setiap tahunnya, tidak kelihatan hal-hal positif yang lahir dari UN demi UN itu. Para siswa pun semakin merasa mereka ini seperti obyek dari suatu proyek dan ambisi seorang menteri dengan menjadikan mereka mereka sebagai kelinci percobaannya. Banyak sekali keluhan sudah disampaikan para pelajar itu, tetapi masuk telinga kiri keluar telinga kananynya Pak Mendikbud-nya.

[caption id="attachment_307459" align="aligncenter" width="402" caption="Curhati peserta UN di Twitter, April 2014 (Sumber: Kaskus.com)"]

14003444191773178642
14003444191773178642
[/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="(Sumber: Sukalupa.blogspot.com)"]

[/caption]

Katanya soal-soal UN sekarang berstandar internasional, tetapi kenyataannya justru secara internasional pun mutu pendidikan Indonesia ternyata masih terus rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, khususnya di Asia Tenggara.

The Learning Curve Pearson 2014, yaitu sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, pada Selasa, 13 Mei 2014 lalu, merilis daftar peringkat mutu pendidikan dari berbagai negara di dunia. Di daftar itu, Indonesia lagi-lagi menduduki posisi “degradasi”

Indonesia menempati posisi ke-40 dengan indeks rangking dan nilai secara keseluruhan yakni minus 1,84. Sementara pada kategori kemampuan kognitif indeks rangking 2014 versus 2012, Indonesia diberi nilai -1,71.

Sedangkan untuk nilai pencapaian pendidikan yang dimiliki Indonesia, diberi skor -2,11. Posisi Indonesia ini menjadikan yang terburuk. Di mana Meksiko, Brasil, Argentina, Kolombia, dan Thailand, menjadi lima negara dengan rangking terbawah yang berada di atas Indonesia.

Peringkat ini “berhasil” dipertahankan Indonesia sejak 2012 (Okezone.com).

[caption id="attachment_307580" align="aligncenter" width="467" caption="( http://thelearningcurve.pearson.com/index/index-ranking )"]

14004086811923044715
14004086811923044715
[/caption]

Padahal hanya di Indonesia saja ada pemerintahnya yang menyelenggarakan suatu ujian yang bersifat nasional seperti UN itu bagi para pelajarnya, mulai dari SD sampai dengan SMA. Kalau untuk SD sudah dihentikan mulai tahun ini, kenapa tidak sekalian saja untuk SMP dan SMA juga dihentikan, setidaknya mulai tahun ajaran depan?

Jadi, apa relevansinya dari keteguhan Kemendikbud untuk terus mempertahankan UN, selain hanya menguras anggaran negara, dengan berbagai kecauannya, sampai mengorbakan jiwa siswa-siswi kita?

Seperti disebutkan di atas, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang menyelenggarakan suatu ujian nasional seperti ini, tetapi ironisnya mutu pendidikannya secara internasional malah masih terus berada di posisi paling rendah. Itu artinya, selama ini UN adalah suatu kemubaziran bagi peningkatan kualitas pendidikan kita. Ratusan miliar rupiah (tahun 2014 sebesar Rp 514 miliar) terbuang sia-sia hanya untuk membawa efek dan dampak buruk seperti yang digambarkan di atas.

Keunikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang meneyelenggarakan UN tersebut, membuat fenomena yang janggal juga terlihat di setiap kali ada UN.

Tidak ada negara manapun di dunia, selain di Indonesia, setiap kali ada ujian akhir sekolah, melibatkan polisi bersenjata mesin lengkap untuk mengawal soal. Mirip-mirip dengan mengantisipasi serangan teroris saja.

[caption id="attachment_307462" align="aligncenter" width="540" caption="Polisi mengawal Ujian Nasional (Kabar17.com)"]

140034496652515008
140034496652515008
[/caption]

[caption id="attachment_307465" align="aligncenter" width="518" caption="(Sumber: Tempo.co)"]

14003451711027320937
14003451711027320937
[/caption]

Tidak ada negara mana pun di dunia, selain Indonesia, yang sebelum ujian sekolah ditempuh, para siswa-siswinya, guru-gurunya, dan panitia penyelenggaranya diharuskan melakukan doa dan ikrar bersama untuk jujur dalam menempuh UN, lengkap dengan adengan-adegan dramatisnya; ada air mata mengali, dan tangisan mendayu-dayu seperti di adegan sinetron-sinetron. Namun, dari tahun ke tahun, dari UN ke UN sama saja, tetap saja penuh dengan kecurangan-kecurangan, jual-beli soal dan kunci jawaban, dan sebagainya yang sejenis. Kalau Mendikbud-nya bukan Muhammad Nuh, tidak mungkin bisa begini.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="--- Sumber: dedikuswandinjang.wordpress.com ---"]

[/caption] [caption id="attachment_307469" align="aligncenter" width="512" caption="(Sumber: Solopos.com)"]
1400345581440768285
1400345581440768285
[/caption]

[caption id="attachment_307479" align="aligncenter" width="480" caption="Setelah melakukan ikrar dan doa bersama untuk UN jujur dan berlangsung lancar, siswa-siswi SMA Veteran 1 Sukoharjo, Sukoharjo, Jawa Tengah melakukan sungkem kepada guru-guru mereka (Jumat, 12/04/2013/ Antaranews.com)"]

1400349804123153824
1400349804123153824
[/caption] [caption id="attachment_307471" align="aligncenter" width="503" caption="DOA BERSAMA - Sejumlah siswa SMAN 6 Surabaya menangis saat berpelukan dengan orangtuanya saat mengikuti istigotsah sebelum Unas yang digelar di masjid Al Akbar, Surabaya, Jumat (12/4/2013). (Sumber: Suryaonline.com)"]
1400347694286764341
1400347694286764341
[/caption]

Namun, setelah ujian akhirnya itu selesai, dan hasilnya diumumkan, terlihatlah adegan kontradiksinya. Banyak sekali pelajar, baik itu dari SMP, SMP, bahkan SD pun langsung merayakannya dengan cara-cara vandalis, antara sesama temannya saling mencorat-coret pakaian seragam masing-masing  dengan spidol dan pylox, melakukan konvoi kendaran bermotor dengan cara-cara yang melanggar hukum, mengganggu kelancaran lalu-lintas jalan raya, dan yang sekaligus berbahaya bagi dirinya sendiri, maupun pengguna jalan lainnya.

Pakaian seragam yang masih bagus-bagus semuanya dicorat-coret dengan spidol dan pylox sampai sangat kotor dan tidak mungkin bisa dipakai lagi. Sementrara itu banyak pula dari teman-teman mereka, adik-adik kelasnya yang dari keluarga tak mampu hanya bisa menonton dengan nestapa. Karena untuk membeli pakaian seragam saja orangtuanya hampir tak mampu, tetapi kakak-kakak kelasnya malah dengan enteng mencorat-coretnya. Seandainya saja mereka punya rasa simpatik dan empati tentu pakaian seragam itu bukan dicoret-coret, tetapi disumbangkan ke mereka yang membutuhkannya.

[caption id="attachment_307475" align="aligncenter" width="600" caption="(Sumber: Tribunnews.com)"]

1400348115732633275
1400348115732633275
[/caption] [caption id="attachment_307473" align="aligncenter" width="600" caption="(Sumber: Tribunnews.com)"]
1400347927129309787
1400347927129309787
[/caption]

[caption id="attachment_307472" align="aligncenter" width="600" caption="(Sumber: Jpnn.com)"]

14003478732037600055
14003478732037600055
[/caption] [caption id="attachment_307477" align="aligncenter" width="619" caption="Sejumlah siswa SD Negeri Cideng 06 Pagi melakukan aksi corat-coret seragam sekolah di kawasan Bunderan HI, Jakarta, Rabu (8/5/2013). (Sumber: Kaskus.com)"]
14003484101933721800
14003484101933721800
[/caption]

Lebih tragis lagi, hanya di Indonesia di hampir setiap kali ada ujian akhir, jatuh korban jiwa, yang bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban ketika mempersiapkan diri, mengikuti ujian, dan menerima hasilnya.

Hanya di Indonesia, meskipun semua hal-hal destruktif dari sebuah ujian akhir sekolah dengan nama Ujian Nasional (UN) itu terus terjadi, pemerintahnya tetap saja bersikukuh untuk meneruskannya meskipun tanpa ada tanda-tanda perbaikannya, dan tanpa ada dampak positifnya.

[caption id="attachment_307558" align="aligncenter" width="605" caption="(Sumber: Kompas Minggu)"]

14003914701384369548
14003914701384369548
[/caption]

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun