Bayangkan sebuah "pulau" di tengah Samudera Pasifik, luasnya hampir setara dengan Indonesia---1,6 juta kilometer persegi---tapi bukan daratan yang bisa kamu injak. Ini adalah Great Pacific Garbage Patch (GPGP), atau Pulau Sampah Pasifik Besar, kumpulan sampah laut yang mengapung di antara Hawaii dan California. Bukan pulau dalam arti sesungguhnya, melainkan lautan partikel mikroplastik dan benda-benda plastik yang hanyut, terperangkap dalam pusaran arus Pasifik Utara. Fenomena ini mengkhawatirkan sekaligus mencengangkan---sampah yang kita buang ternyata dapat terbawa arus hingga ribuan kilometer jauhnya. Lalu, bagaimana peran Indonesia dalam kisah ini?
Mengapa Sampah Berakhir di Sana?
Laut tak pernah diam. Arus Pasifik Utara berputar seperti jarum jam, membentuk pusaran raksasa yang disebut gyre. Sampah dari pantai, sungai, dan kapal-kapal ditarik ke pusatnya, tempat arus melambat dan menumpuk segala yang terbawa. Sekitar 80% sampah di GPGP berasal dari daratan---botol plastik, kantong kresek, sedotan, bahkan jaring ikan yang terlepas. Sisanya berasal dari aktivitas di laut, seperti limbah kapal yang tidak dikelola dengan baik. Di bawah terik matahari dan hempasan ombak, plastik-plastik ini pecah menjadi mikroplastik, partikel kecil yang kini tersebar luas, dari satu kilogram per kilometer persegi di pinggir hingga 100 kilogram di pusatnya.
Lalu, dari mana asalnya? Amerika Utara dan Asia menjadi penyumbang utama, dan Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tak bisa lepas dari sorotan. Dengan garis pantai sepanjang 99.000 kilometer dan lebih dari 17.000 pulau, kita memiliki hubungan erat dengan laut. Sayangnya, hubungan itu tercoreng oleh sampah. Banyak sungai kita---seperti Citarum atau Brantas---mengalirkan limbah plastik langsung ke laut karena pengelolaan sampah yang masih belum optimal. Studi memperkirakan Indonesia menjadi salah satu penyumbang plastik terbesar ke lautan, dan sebagian dari itu berakhir di GPGP, terbawa arus jauh ke Pasifik.
Indonesia: Bagian dari Masalah
Kita tidak bisa lepas dari tanggung jawab dalam permasalahan ini. Setiap kantong plastik yang kita buang sembarangan di pasar, setiap botol minuman yang terlepas dari tangan di pantai, dapat berakhir dalam perjalanan panjang menuju GPGP. Data dari Jambeck (2015) menyebut Indonesia membuang sekitar 3,2 juta ton sampah plastik ke laut setiap tahun, menempatkan kita di urutan kedua dunia setelah Tiongkok. Sungai-sungai kita menjadi "jalan tol" bagi limbah, dan laut tak punya pilihan selain menerimanya. Ketika arus Pasifik Utara menyapu sampah dari Asia Tenggara, jejak kita ikut terbawa, bergabung dengan akumulasi sampah terbesar di lautan.
Bukan hanya soal jumlah, tetapi juga sikap. Budaya buang sampah sembarangan masih mengakar di banyak tempat. Sampah yang tidak terkelola dengan baik---entah karena minimnya fasilitas atau rendahnya kesadaran---berakhir di laut, lalu hanyut jauh. GPGP mungkin terasa jauh di mata, tetapi dekat dengan tindakan kita sehari-hari.
Laut yang Menderita, Manusia yang Merana
Dampaknya sangat mengkhawatirkan. Penyu salah makan plastik, burung laut mati dengan perut penuh mikroplastik, ikan terjerat jaring tua. Lebih dari 100 spesies laut terancam, dan rantai makanan menjadi terganggu. Mikroplastik ini bahkan masuk ke tubuh kita lewat ikan yang kita konsumsi---bayangkan, sampah yang kita buang kembali ke piring makan kita! Ekonomi pun terkena dampaknya. Nelayan kehilangan tangkapan, pantai indah menjadi sepi turis. GPGP bukan hanya tentang laut di sana, tetapi juga kehidupan kita di sini.
Ada Harapan, Tetapi...
Lalu, apa yang dilakukan dunia? The Ocean Cleanup, dipimpin Boyan Slat, menjadi salah satu upaya penyelamatan. Mereka menciptakan jaring raksasa dengan teknologi mutakhir, menjaring lebih dari 10 juta kilogram sampah sejak 2013. Targetnya ambisius: membersihkan 50% GPGP dalam lima tahun. Namun, tantangan tetap besar. Cuaca buruk, lokasi terpencil, dan biaya yang fantastis---bisa mencapai 7,5 miliar dolar---membuat usaha ini seperti maraton di tengah lumpur. Belum lagi, pembersihan tak akan pernah cukup jika kita terus "menyuplai" sampah baru ke laut.
Indonesia sendiri mulai bergerak. Ada program pembersihan sungai, kampanye pengurangan plastik, tetapi langkah kita masih tertinggal dibanding skala permasalahannya. GPGP mengingatkan kita bahwa laut tak mengenal batas, dan tanggung jawab kita pun seharusnya tak terbatas.
Akhir yang Menggugah Kesadaran
Jadi, setelah semua cerita ini---arus laut, sampah kita, dan upaya pembersihan---ada satu ironi yang mengusik. GPGP ternyata bukan akhir perjalanan sampah. Mikroplastik dari sana dapat terbawa arus lagi, menyebar ke lautan lain, bahkan mungkin kembali ke pantai kita. Sampah yang kita buang ke laut, yang kita anggap telah "hilang" di Pasifik, bisa saja sedang dalam perjalanan pulang, menyapa kita kembali dari ombak. Laut memang sabar, tetapi dia tidak pernah lupa.
Sumber:Â
- Jambeck, J. R., et al. (2015). "Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean." Science Magazine. https://www.science.org/doi/10.1126/science.1260352 (Studi seminal tentang kontribusi sampah plastik global, termasuk Indonesia.)
- National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA): https://oceanservice.noaa.gov/facts/garbagepatch.html
(Penjelasan resmi tentang GPGP dari lembaga AS.) - The Ocean Cleanup: https://theoceancleanup.com/great-pacific-garbage-patch/
(Data langsung dari organisasi yang berjuang membersihkan GPGP.) - Nature Journal: https://www.nature.com/articles/s41598-018-22939-w
(Penelitian ilmiah tentang akumulasi plastik di GPGP.) - BBC Future: https://www.bbc.com/future/article/20240115-visualising-the-great-pacific-garbage-patch (Laporan mendalam tentang GPGP dan perkembangannya.)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI