Di tengah masyarakat yang bergerak cepat, pernahkah kita bertanya: Berapa banyak yang cukup? Banyak orang menghabiskan hidup mengejar uang dan kesuksesan, berpikir bahwa kekayaan akan membawa kebahagiaan di masa tua. Namun, seperti yang sering dikatakan oleh banyak tokoh spiritual dan filsuf, setelah pensiun, uang itu justru dihabiskan untuk mengobati kesehatan yang telah terkikis. Seseorang bisa memiliki segalanya, tetapi apakah masih ada semangat untuk menikmatinya? Pertanyaan ini mengajak kita merenung lebih dalam: bagaimana gaya hidup yang lebih lambat dan sederhana dapat mengubah cara kita memaknai hidup serta membangun identitas diri?
Mengejar Harta, Kehilangan Jiwa
Ada pepatah yang menyatakan, "Dia yang mati dengan mainan terbanyak adalah pemenang." Namun, bagaimana kehidupan sebelum itu? Banyak orang terjebak dalam lingkaran konsumerisme: rumah mewah, kendaraan canggih, dan gaya hidup yang tak pernah cukup. Pakaian bermerek tidak membuat langkah lebih ringan, ponsel terbaru tidak membuat suara lebih lantang, dan jam tangan mahal tetap menunjukkan waktu yang sama seperti yang murah. Sensasi kepuasan sesaat pun akhirnya digantikan oleh kebosanan, dan siklus ini terus berulang.
Namun, semakin banyak orang mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta benda, melainkan pada hidup yang selaras dengan nilai-nilai pribadi. Sebuah studi kualitatif di Swedia terhadap tujuh individu yang beralih ke gaya hidup lambat mengungkapkan berbagai motivasi mereka: ada yang ingin mengutamakan kesejahteraan mental dan fisik, mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan, atau mendapatkan kebebasan dalam mengatur waktu. Meskipun alasan mereka berbeda, hasilnya tetap sama: kesehatan yang lebih baik, jejak ekologis yang lebih kecil, dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hidup lambat memungkinkan seseorang menyingkirkan hal-hal yang membatasi kebebasannya dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Kesederhanaan sebagai Pembebasan
Banyak orang tahu betapa sulitnya mencari uang. Namun, tanpa utang dan tuntutan gaya hidup berlebihan, kebebasan bisa ditemukan dalam kesederhanaan. Rumah tanpa peralatan modern mungkin dianggap kuno, tetapi dengan memiliki lebih sedikit, seseorang dapat belajar bertahan dengan lebih sedikit pula. Kebahagiaan ternyata ada pada hal-hal sederhana: duduk bersama keluarga, menikmati makanan biasa dengan tawa dan cerita. Meski uang hampir habis, hati bisa tetap penuh. Keindahan sejati tidak bisa dibeli---ia ada di sekitar kita, dalam hal-hal kecil yang sering terabaikan.
Para partisipan studi di Swedia menunjukkan perubahan serupa, seperti mengurangi jam kerja untuk fokus pada keluarga atau kegiatan yang lebih bermakna. Meskipun ada konsekuensi finansial, mereka tetap memilih jalan ini. Semakin sedikit yang dimiliki, semakin besar kebahagiaan yang dirasakan---karena ada lebih sedikit beban yang harus dikhawatirkan. Uang tetap penting untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi menumpuk harta justru bisa membuat hidup semakin terpuruk.
Tantangan dan Norma Sosial
Hidup lambat dan sederhana bukan tanpa hambatan. Tantangan logistik dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi rumit, tekanan emosional muncul dari kurangnya pemahaman lingkungan sekitar, dan norma sosial masih cenderung mengukur kesuksesan berdasarkan pekerjaan penuh waktu dan konsumsi barang mewah. Standar masyarakat yang menekankan produktivitas dan kepemilikan materi membuat pendekatan ini sulit diterima.
Namun, mereka yang memilih jalan ini menemukan bahwa tantangan itu sepadan dengan manfaat yang diperoleh: kesejahteraan mental, harga diri, dan rasa percaya diri yang meningkat. Dengan mengubah perspektif tentang apa yang benar-benar penting, seseorang dapat menemukan ketenangan dalam kesederhanaan.
Identitas dalam Hidup Lambat
Gaya hidup dan identitas diri saling berkaitan. Kemampuan untuk mengatur waktu sendiri sangat memengaruhi rasa identitas seseorang. Ketika seseorang memiliki kendali atas hidupnya tanpa terikat tekanan eksternal, ia akan merasa lebih baik tentang dirinya sendiri. Para partisipan studi di Swedia menemukan identitas mereka melalui pendekatan hidup lambat---hidup selaras dengan nilai-nilai pribadi, bukan ekspektasi masyarakat. Fokus mereka bergeser dari keseimbangan kerja-hidup ke kesejahteraan pribadi, menciptakan hubungan yang lebih autentik dengan diri sendiri dan orang lain.
Banyak dari mereka membagikan pesan ini melalui media sosial seperti Instagram, YouTube, podcast, dan blog. Mereka menginspirasi orang lain dengan praktik hidup lambat dan membangun identitas sebagai bagian dari gerakan ini. Ada pula yang lebih memilih mengisi "bank kenangan" daripada rekening bank---karena tawa anak-anak dan obrolan hangat bersama orang terkasih jauh lebih berharga daripada harta benda.
Refleksi Akhir: Pilih Mana yang Berarti
Hidup ini penuh dengan kesempatan untuk menciptakan kebahagiaan sejati. Jadi, apa yang benar-benar kita kejar? Jika jawabannya adalah harta atau kesuksesan materi, mungkin saatnya membuka mata dan melihat keindahan dalam kesederhanaan dan kelambatan. Seperti yang disebutkan dalam sebuah studi, "Hidup sederhana bukan hidup yang mudah, tetapi layak untuk diperjuangkan." Pada akhirnya, kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa penuh kita menjalani hidup---dan seberapa dekat kita dengan identitas sejati kita.
Sumber
- Reflections of Life. (2020, 3 Juni). WHY LIVE a SIMPLE LIFE - How Much is ENOUGH? [Video]. YouTube. https://youtu.be/MRXc0G3Njg8?si=vtQWijre4Ckkgc9p
- Hall, A. (2020). A simple life is not an easy life, but it is worth fighting for: A qualitative study of slow lifestyles and identity (Master's thesis). rebro University, School of Humanities, Education and Social Sciences.