Mohon tunggu...
Dandung Nurhono
Dandung Nurhono Mohon Tunggu... Petani - Petani kopi dan literasi

Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Niat

24 Maret 2023   06:00 Diperbarui: 24 Maret 2023   06:13 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukit Batu | Foto: Dandung N. (Dok. pribadi)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat yang menyatakan bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah (QS. Adz-Dzariyat: 56), mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah sesungguhnya Allah SWT menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya, akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya, niscaya akan memperoleh siksa dengan siksaan yang sangat keras. Allah SWT pun mengabarkan bahwa diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan, mereka itulah yang senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah SWT adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi mereka.

Makna beribadah kepada-Nya, menurut Ibnu Katsir, yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah SWT yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri, dan kepatuhan.

Al-Qurthubi mengatakan bahwa makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas/beban syariat yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah SWT.

Dari itu, maka hakikat ibadah bukanlah sekadar formalitas yang berkaitan dengan penampakan lahir, melainkan sangat terkait dengan hati (qalb) dan keyakinan yang ada dalam jiwa. Karena ibadah yang tidak dilandasi dengan kehadiran hati yang ikhlas kepada Allah SWT semata, seperti orang ngigau yang hanya berkata-kata tanpa ada makna dan tujuan.

Apa yang ada di dalam hati adalah niat yang tulus dan ikhlas, walau tanpa diucapkan akan memancarkan energi dalam berbagai tindakan nyata yang bermanfaat. Sebagai tempat bersemayamnya niat yang tulus ikhlas, dalam Islam, hati merupakan salah satu alat ukur yang paling penting untuk menimbang amal dan ketakwaan seseorang.

Menurut Al-Ghazali, definisi hati memiliki dua pengertian, yakni: hati dalam bentuk fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar (bentuk bundar memanjang) yang terletak di bagian kiri dada yang di dalamnya terdapat rongga-rongga yang menyalurkan darah hitam dan berperan sebagai sumber nyawa manusia. 

Kemudian hati yang ditakrifkan sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus (lathifah) dan bersifat ketuhanan (rabbaniyyah). Hati dalam pengertian yang kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia dimana hati berfungsi untuk merasai, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurut beliau, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang berkenaan hubungan hati fisik dengan hati spiritual, karena itu termasuk di bawah ilmu mukasyafah. Dengan hati spiritual ini manusia mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq dan dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilmu mukasyafah yang tidak bisa dilalui lewat nalar. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas kebenaran.

Niat dari hati yang bersih akan memancarkan amal yang baik, sedangkan niat dari hati yang kotor akan terpancar juga perbuatan yang kotor. Seperti dalam kisah yang sangat terkenal dalam HR. Bukhari, seorang pelacur dari kalangan Bani Israil yang hatinya luluh dan merasa iba ketika di tengah terik matahari yang sangat panas, melihat seekor anjing sedang mengitari sebuah sumur yang berisi air, ia hampir mati karena kehausan. Dengan hati yang tulus ia menolong anjing yang kehausan itu, ia menanggalkan sepatunya kemudian mengambil air dari sumur tersebut dan diberikanlah kepada anjing itu sehingga hilanglah rasa hausnya. Dengan apa yang dia lakukan, kemudian Allah SWT memberikan pengampunan padanya, dan memasukkan dia ke dalam surga.

Demikian keikhlasan dan kebersihan hati merupakan pengukur diterimanya setiap amal yang menjadi sumber segala kebajikan. “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian”. (HR. Muslim). (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun