Mohon tunggu...
Danang Agung
Danang Agung Mohon Tunggu... Freelancer - Pencerita Sederhana Cerita

Pria Biasa - Biasa Saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Zonasi, Edukasi, Vaksinasi, dan Hipertensi

4 Agustus 2021   20:57 Diperbarui: 4 Agustus 2021   21:11 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENERIMAAN Peserta Didik Baru (PPDB) online tahun ini baru saja usai. Masalah klasik beberapa murid tidak dapat diterima di sekolah negeri yang diinginkan masih kembali menyeruak.  Padahal  melalui sistem zonasi ini konon diharapkan akan lebih efektif, mendekatkan siswa ke sekolahnya. Padahal sistem ini sudah beberapa tahun lalu telah diterapkan, tujuannya untuk tranparansi dan menghilangkan makelar siswa pada saat PPDB dilakukan. Menghilangkan kastanisasi sekolah favorit, praktek-praktek kecuarangan lainnya didunia pendidikan.

Namun lacur, PPDB online kembali harus memakan korban. Berbagai media menyoroti puluhan calon siswa bahkan mungkin ribuan yang gagal bersekolah untuk mengecap pendidikan disekolah negeri. Mimpi mereka kandas oleh sistem zonasi.

Menurut pengalaman penulis yang begitu menikmati jalannya PPDB system zonasi dari pendaftaran hingga penutupan. Permasalahan substansi penerimaan siswa baru untuk semua jenjang pendidikan SD --SMA bukan pada mekanisme penerimaannya, namun lebih pada daya tampung sekolah. Sehingga ketika mekanisme apapun dipakai, mau daftar langsung atau Online berbasis zonasi, goal seharusnya adalah bagaimana siswa tersebut bisa dan mudah diterima bersekolah negeri.

Ketika mengetahui anak yang kami daftarkan tidak diterima di sekolah negeri lewat jalur zonasi karena bukan ring satu dan kendala usia, harapan rasanya sudah tertutup. Namuan diujung akhir pendaftaran terbuka jalur regular, yang jumlahnya juga cukup terbatas pula. Berpacu dengan waktu, berbekal info seorang sahabat agar cabut berkas dan segara daftar reguler disekolah tujuan lainnya. Berkas dimasukan, sambal menunggu anak dihadirkan, oleh guru putri kamu dites untuk diketahui bisa calistung (baca tulis hitung) atau tidak. Padahal calistung bukan syarat untuk pendaftaran, entah mengapa sekolah masih ada yang menerapkan cara ini. Dua jempol nilai untuk putri kami dari sang guru, tapi tetap usia tertua yang dicari.

Belum sampai lima belas menit, pesan dari sekolah melalui gadget saya terima. Anak kami tak diterima karena faktor usia kalah tua. Belum terasa lelah usai, waktu menunjukan setengah jam lagi pendaftaran jalur regular ditutup. Kembali berpacu waktu, menuju sekolah lainnya dituju. Roda dua sudah tak terpikir dan dirasakan jika bocor bagian belakang. Yang penting kuota reguer 48 daya tampung dalam daftar menjadi harapan disekolah yang kami tuju. Usai mendaftar, dalam terik panas roda dua didorong selam setengah jam hingga dapat ditambal. Sedang sang istri beserta anak perlahan membututi, menjadikan berkas pendaftaran sebagai peneduh dari terik matahari.

Kepala bagian belakang rasanya mulai senut-senut. Perkiraan penulis tekanan lagi naik di angka 150/100. Peluh menetes perlahan, terik matahari seolah menusuk-nusuk ujung kepala.

Permasalahan PPDB ini tak seharusnya selalu terulang. Tidak ada boleh seorang anakpun yang ingin memperoleh layanan dasar pendidikan di sekolah negeri terganjal hanya karena sistem penjaringannya. Jika banyak anak yang tidak bisa masuk ke sekolah negeri lantaran sistem ini diberlakukan, hal ini menunjukan pemerintah telah mengabaikan hak-hak dasar warga negara (UUD 1945 (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Karena amanah konstitusi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai".  Jadi, ketika ada anak umur sekolah dan anak lulus sekolah, dia harus dijamin ketersediaan pendidikan untuk layanan dasar di sekolah negeri. Jika tidak, pemerintah dapat disebut gagal, abai atau melanggar UUD 1945, karena telah menelantarakan tanggung jawabnya.

Jadi hemat penulis, jangan sampai PPDB online berbasis zonasi merupakan cara menghadang masyarakat untuk menikmati layanan pendidikan dasar dari pemerintah yang merasa terbebani jika banyaknya masyarakat yang bersekolah di negeri. Lantaran hingga kini, pemerintah masih gagap mengatasi kekurangan ruang belajar, jumlah guru dan fasilitas pendukung pendidikan lainnya. Kualitas pendidikan kita memang belum merata, tapi itu bukan alasan mengebiri setiap warga negara yang ingin mendapatkan hak pendidikannya.

Pemerintah melalui instansi terkait dan sekolah harusnya memberi ruang dan kemudahan masyarakat menikmati pendidikan dan menjamin ketersediaan layanan dasar pendidikan. Sehingga tidak ada kata, masyarakat yang tidak diterima bersekolah di sekolah negeri. Masyarakat tidak diberi penghalang dan kerumitan dalam bentuk apapun, termasuk bagaimana masuk dalam sekolah yang diinginkan. Baik pada saat mendaftar hingga proses belajar, yang selama itu masih merupakan layanan dasar pendidikan.

Sehingga system apapun yang diterapkan dalam penerimaan siswa baru, muaranya adalah bagaimana masyarakat dapat menikmati pendidikan tersebut dengan mudah. Tidak menimbulkan depresi, kecewa, berlinang air mata dan menjadi amuk yang harusnya jauh dari tujuan pendidikan nasional kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun