Mohon tunggu...
Agustinus Danang Setyawan
Agustinus Danang Setyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Vortiter In Re, Sauviter In Modo || Teguh dalam Prinsip, Lentur dalam Cara

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tradisi Islam Menjadi Tradisi Masyarakat

27 April 2021   11:21 Diperbarui: 27 April 2021   12:10 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Masyarakat: "Ujung" (https://www.antaranews.com/)

Bertransformasi

Menanti hari Lebaran sama menariknya dengan mengingat masa lebaran di waktu kecil. Bayangan langsung lari nuansa Batang (masa kini) menuju Muntilan (di masa kecil). Ya, saya hidup di Muntilan, kurang lebih 20 kilometer dari lereng Gunung Merapi. Suasana sangat sejuk dibarengi dengan masyarakat yang harmonis.

Tulisan ini ingin mengulas sedikit tetang tradisi "Ujung" (Indonesia: Mengunjungi) yang waktu itu dan sampai sekarang masih terjadi. Tradisi saling mengunjungi rumah-rumah warga menjadi sarana komunikasi yang baik untuk melebur kesalahan dan memupuk hidup bertetangga yang baru. Tradisi ini ingin mengangkat kultur masyarakat yang baik yaitu rendah hati dan saling memaafkan.

"Ujung" menjadi jalan yang baik untuk saling bertegur sapa dan memupuk relasi masyarakat yang lebih luas. Yang menarik dari tradisi Lebaran ini adalah kemampuan dari momen ini yang bertransformasi dari 'kegiatan keagamaan' menjadi 'kegiatan kemasyarakatan'. Mengapa demikian? Ujung akhirnya menjadi kegiatan multikultural.

Saya yang non Muslim adalah bagian dari masyarakat plural. Di dalam masyarakat itu terdapat tatanan dan norma-norma universal yang diakui dan diamini bersama sebagai landasan hidup masyarakat. Fungsinya sederhana, yaitu membentuk masyarakat yang harmonis.

Pengalaman ujung waktu kecil itu memberi pelajaran yang berharga dan telah membentuk karakter baik dalam hidup saya hari ini. Kearifan kehidupan masyarakat ternyata mampu menumbuhkan semangat dan motivas yang baru dalam setiap kesempatan. Lahirlah sebuah ketulusan untuk berbagi dan menghargai antar anggota masyarakat, tak terkecuali kami yang non muslim.

Sekalipun saya seorang Katolik, saya pun ikut merayakan Lebaran. Saya dan keluarga besar saya di Muntilan, pun keluarga-keluarga yang lain, menjalankan tradisi ujung ini dengan penuh rasa bahagia. Sepulang para tetangga dari sholat Ied, keluarga kami sudah menunggu di depan rumah untuk mengucapkan "selamat lebaran" dan diikuti kata kata "Nyuwun pangapunten, menawi wonten kalepatan kula" (Indonesia: "Mohon maaf, jika ada kesalahan dari saya"). 

Suatu saat ayah saya menyambung ide ke benak saya, "Le, tekan mati tetep butuh wong liyo. Bisa kowe nguburke awakmu dewe?"

Kata atau kalimat itu bersambut rahmat. Mereka pun akhirnya mengatakan hal yang serupa dengan penuh tulus. Setelah itu, kami pun berkeliling ke tetangga sekitar rumah untuk menyalami keluarga-keluarga itu. Kami duduk, ngeteh, dan bahkan (harus) makan opor di setiap rumah yang kami datangi. 

Menjadi Nilai Hidup Masyarakat

Kami tak canggung untuk ikut merayakan Lebaran. Nilai dan makna Lebaran telah menjadi nilai masyarakat secara umum dan universal (paling tidak di Muntilan, tempat masa kecil saya). Tradisi itu tidak lagi bersifat egosentris, tetapi telah bertransformasi menjadi kebaikan bersama (masyarakat plural). Para leluhur sebenarnya telah mengajari kami yang masih muda untuk mempunya sikap toleransi, apapun agamanya, apapun derajatnya.

Masyarakat yang seperti inilah yang sebenarnya sehat dan penting demi karakter bangsa Indonesia secara lebih luas. Kita, Indonesia adalah plural. Kita tak bisa dikotak-kotakkan hanyak untuk kepentingan tertentu. 

Suatu saat ayah saya menyambung ide ke benak saya, "Le, tekan mati tetep butuh wong liyo. Bisa kowe nguburke awakmu dewe?" (Indonesia: Nak, sampai mati kita tetap butuh orang lain. Bisakah kamu menguburkan dirimu sendiri?)

Quote bapak saya itulah yang melecut semangat toleransi saya samapai saat ini. Masyarakat membentuk karakter saya, dan keluarga saya menjadi 'gong' nya. Memantapkan, meluruskan, dan menguatkan motivasi kami anak-anaknya dalam menghadapi tantangan hidup bermasyarakat.

Tantangan Hidup Sekarang?

Sekarang menjadi sebuah tantangan dalam keluarga dan masyarakat masa kini. 

Menyerap dan menanamkan nilai baik dalam masyarakat menjadi hal yang sudah jarang dilakukan. Orang semakin asosial, menarik diri dari masyarakat, dan menyamankan diri dalam kesendirian.

Kita terperangkap dalam sikap hedonis dan merasa nyaman hidup sendiri. Bahkan orang beranggapan, segalanya sudah dapat dipenuhi sendiri. Kita tak perlu lagi ujung dan bertetangga. Bahkan, anak-anak kita pun tak tahu bagiamana caranya bertetangga.

Ini menjadi dilema tersendiri dalam hidup bermasyarakat saat ini. Teknologi menyuplai fasilitas dimana memampukan kita kerja mandiri. Tetapi di lain pihak, secara tak sadar teknologi memisahkan kita dari sesama.  

Kembali ke Ujung. Pembaca yang budiman, kita renungkan quote bapak saya ya. 

"Bisa kowe nguburke awakmu dewe?"

Selamat menyongsong Lebaran, saudaraku. Tetaplah menjadi berkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun