Mohon tunggu...
Agustinus Danang Setyawan
Agustinus Danang Setyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Vortiter In Re, Sauviter In Modo || Teguh dalam Prinsip, Lentur dalam Cara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kata Sakti Camat Megamendung: "Tidak Tahu"

19 April 2021   13:40 Diperbarui: 19 April 2021   14:23 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Cover Buku. Pengarang Tyo Mokoagow/https://www.bukuindie.com

Kompas.com hari ini memberikan warta yang menggelitik saya lagi. Judulnya sangat menantang saya untuk berpikir; ada apa di balik kata 'tidak tahu' itu? Judulnya demikian, "Sidang Rizieq Shihab, Camat Megamendung Tak Tahu Orang Pulang dari Luar Negeri Harus Karantina"Intinya demikian,Camat Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang bernama Endi Rismawan memberikan jawaban "tidak tahu" ketika majielis hakim menanyainya soal salah satu protokol (SOP) penanganan Covid-19. Untuk itu, tulisan ini hanya akan mengulas soal kata 'tidak tahu' itu dan implikasi moralnya.

Untuk itu, saya coba searching kata 'tahu' dan implikasi makna dibalik kata tersebut. Iseng-iseng saya kulik di jagokata.com. 

https://jagokata.com/arti-kata/tahu.html
https://jagokata.com/arti-kata/tahu.html
Sebelum lebih jauh membahas kata-kata camat Megamendung itu, mari kita lihat dulu arti kata 'tahu'. Beberapa arti yang muncul dari kata 'tahu' adalah: (1) mengerti sesudah melihat (2) kenal (3) mengindahkan, memedulikan (4) mengerti, berpengertian (5) pandai, cakap (6) insaf, sadar (7) pernah. Maka, jika kata'tahu' diberi tambahan 'tidak' di depannya, maka artinya pun akan sebaliknya: tidak mengerti, tidak kenal, tidak mengindahkan, dan seterusnya.

Secara tata bahasa, kata'tidak tahu' sebenarnya mau menegaskan suatu negasi bahwa si subjek tidak 'berada' dalam konteks arti suatu keadaan. Dengan kata lain, kata 'tidak tahu' sebenarnya ingin mengatakan bahwa dia (subjek) tidak memiliki kompetensi apa-apa perihal kejadiaan atau keadaan yang sedang diangkat sebagai konteks kalimatnya. Secara tata bahasa, subyek tidak memiliki keterikatan apa-apa dengan konteks teks nya. 

Setiap kata memang harus dibaca berdasarkan konteks nya. Kata tidak akan pernah berarti apa-apa jika tidak berada dalam konteksnya. Suatu kata baru akaan memiliki kualitas arti jika memiliki keterakaitan dengan ruang lingkupnya. Maka, kita kembali ke konteks kata-kata sang camat yang mengatakan dirinya 'Tidak Tahu' berkaitan dengan SOP penanganan/pencegahan Covid-19. 

Moralitas di balik kata 'tidak tahu'

Terdapat dua pengandaian dasar di balik kata 'tidak tahu'jika mau dilihat dari sisi moralitasnya. Moralitas ini penting, karena menyangkut kredibilitas orang yang mengucapkannya (apalagi di dalam konteks pengadilan). Pengandaian yang pertama, "Ia benar-benar tidak tahu". Pengandaian yang kedua, "Sebenarnya ia tahu, tetapi mengatakan tidak tahu".

Dua pengandaian itu memiliki efek samping sendiri-sendiri tentunya. Pengandaian yang pertama mengisyaratkan bahwa Camat Megamendung memang dalam kondisi tidak tahu menahu soal aturan protokol atau SOP penanganan Covid 19 itu. Kalau realitas ini yang benar-benar terjadi, maka camat itu berada dalam 'nihil kompentensi' berkatian dengan jabatannya sebagai camat ketika berhadapan dengan situasi sosial yang genting. Jika ini yang terjadi, menjadi tidak menguntungkan bagi masyarakat apabila pemimpinnya tidak mampu update aturan main pemerintah. Dalam hal ini, camat adalah perpanjangan tangan pemeritah pusat tentunya. Maka, jika seorang camat tidak mengetahui apa-apa soal aturan maian, Quo Vadis Megamendung?

Pengandaian kedua, "Sebenarnya ia tahu, tetapi mengatakan tidak tahu". Kata 'tidak tahu' sebenarnya lazim dikatakan di dalam proses pengadilan, entah apapun motivasi di baliknya. Inilah kesulitan terbesar dalam proses peradilan jika saksi mengatakan'tidak tahu'. Moralitas di balik konsekuensi ini sangatlah rumit untuk ditelisik dan diurai. Hanya si subjek saja yang tahu persis makna dibalik terucapnya kata itu. 

Jika proses peradilan dapat mengungkapkan dengan jeli, bisa jadi nantinya akan tersirat suatu tafsiran lain, misal seseorang memang ingin cuci tangan dari kasus yang sedang dibahas. Dan di sinilah problem sebenarnya. Bukti-bukti peradilanlah yang nantinya akan mengungkap isi hati dari perkataan seseorang. Apakah jawaban itu dapat dipercaya atau tidak. 

Jika memang akhirnya proses peradilan dapat membuktikan sebaliknya, maka kualitas saksi itulah yang akan menjadi taruhannya. Pembaca yang budiman, satu pertanyaan muncul, "kebenaran apa yang akan kita junjung?"

Salam sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun