Sekali lagi pria itu terbangun dari tidurnya, jam dinding masih berkutat di angka dua, detiknya pun menari terlalu lambat untuk ditunggu sampai mentari hadir dengan senyumnya yang membosankan. Pembicaraan kemarin sore membuat pria muda itu gelisah semalaman, sebagai seorang pengacara, baru pertama kali dia menemukan kasus itu seumur hidupnya. Bahkan mendengar saja, dia belum pernah, satu – satunya alasan dia menerima kasus itu adalah Penasaran!
“Kau harus membantu kami” kata pria, usianya sekitaran empat puluh lima, mendesak Rangga.
“Keponakan kami bertindak terlalu jauh…” kata wanita yang lebih tua dari pria itu.
Rangga semakin tidak nyaman dengan posisi duduknya, dia memandang lima tersangka calon kliennya itu. Semuanya sudah berumur diatas empat puluh tahun, dan semuanya sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang terpidana.
“Yang aku tidak mengerti adalah…” Rangga berusaha menjaga intonasi suaranya “kenapa keponakan anda yang masih terbilang muda itu berani menantang anda di depan pengadilan?”
“Warisan!” kata seorang pria lain, pria yang lebih tua dari sebelumnya.
Kelima orang yang duduk bersama Rangga adalah saudara kandung, dan mereka baru saja menjual tanah peninggalan ayahnya yang cukup luas di kota Medan. Dua saudari mereka sudah meninggal dunia, sehingga untuk menjual tanah tersebut, mereka butuh tanda tangan keponakan – keponakannya agar tidak menjadi sengketa dikemudian hari. Semua keponakan hadir saat itu, semuanya menandatangani seluruh berkas dengan senang hati biar bagaimanapun keponakan – keponakan itu dijanjikan akan mendapat bagian dari penjualan tanah tersebut. Namun, masalah muncul ketika janji tak kunjung ditepati, salah seorang diantara keponakan itu, Aditya menuntut paman dan bibinya atas tuduhan pemalsuan dan penipuan. Sungguh tidak ada kesinambungan, karena menurut hukum Indonesia, waris adalah ranah perdata, tapi Aditya mencari jalan lain, menjebloskan saudara saudari ibu kandungnya itu ke penjara adalah keputusan terbaik baginya.
“Boleh saya lihat berkas berkas penjualan tanah itu?” Kata Rangga mulai yakin bahwa orang – orang dihadapannya ada di pihak yang benar.
Anton, yang paling muda dari lima orang itu mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Kelihatannya Anton memang paling berpendidikan daripada saudaranya yang lain, terlebih saat ucapan pertama yang dikatakannya pada Rangga tadi.
Tidak ada yang salah dengan berkas – berkas yang diberikan oleh Anton. Akta Jual Beli lengkap, surat penunjukan ahli waris pun ada, semua pihak membubuhkan tanda tangan persetujuan penjualan disertai dengan foto copy KTP mereka.
“Lalu apa yang anda palsukan?” Rangga menyelidik lebih dalam