Esprit de Cort yang berlebihan.
Provokasi.
Apa urusan anda menanyakan seperti itu?
Bukan hak anda bertanya pada saya.
Terimakasih, saya akhiri!
Ucapan -- ucapan tidak pantas keluar dari bibir seorang pejabat tinggi negara. Ketua umum PSSI, sekaligus Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Cara Edy berkilah tentu tidak patut bahkan untuk ditayangkan di televisi. Ada seseorang yang meregang nyawa dengan cara paling tidak pantas dalam sejarah kemanusiaan kita disana.
Bahwa pengawalan laga Persija -- Persib yang begitu banyak dari kepolisian bukanlah berlebihan, kita tahu sejarah kedua klub sepak bola seperti apa. Setidaknya, sebelum Haringga ada lima korban lainnya yang sudah dulu menjadi korban fanatisme kedua klub ini. Pertanyaan yang diajukan pada seorang ketua umum PSSI yang bisa diartikan sebagai penanggung jawab utama segala kegiatan sepak bola di Indonesia bukanlah provokasi. Wartawan, adalah satu -- satunya corong masyarakat untuk berbicara langsung sekaligus mendapat jawaban langsung dari pejabat negara. Sikap Aiman, bukan sebuah prvokasi berlebihan, bahkan seharusnya pertanyaan lebih tajam dari apa yang ditunjukkan dilayar kaca tersebut. Selama pertanyaan tersebut tidak menyerang pribadi, bagi saya satu -- satunya yang bersikap berlebihan dan tidak pantas atas wawancara Aiman dan Edy adalah Edy itu sendiri. Seolah sang jendral benar -- benar tidak merasakan pilu kematian tragis seseorang diluar sana.
Tapi, benarkah kita juga merasakan pilu itu?
Mari ditelisik sejenak pada media sosial. Tagar #RIPHaringga menjadi salah satu yang paling sering dibicarakan dua hari terakhir ini. Tapi kebiadaban itu sudah terjadi, tidak ada pertolongan bahkan dijadikan tontonan umum. Ironis, ketika seharusnya disana ada pihak kepolisian yang bisa menengahi keadaan. Atau setidaknya mereka yang merekam kekejian itu. Tidakkah ada satu pun diantara mereka yang merasa punya nurani untuk menghentikan apa yang terjadi. Namun, sekali lagi kita hanya bisa berkomentar. Mungkin, kalau kita berada disanapun akan bersikap sama diamnya seperti mereka semua. Ketakutan kepada kematian justru membuat kita sudah mati berulang kali sebagai manusia.
Sikap yang ditunjukkan Edy adalah pembenaran mutlak atas sikap kebanyakan kita memahami tragedi yang terjadi. Berlari dari pertanyaan, mencari kata -- kata yang bukan jawaban dibutuhkan. Saat tiba waktunya tersudut, kita justru mencari kambing hitam untuk dipersalahkan. Bukankah Haringga juga disalahkan, sebab nekat menunjukkan kecintaannya pada persija ditanah rival abadinya?