Posisi Joko Widodo sebagai petahana saat ini memang diatas angin. Tapi, bukan berarti mantan Wali Kota Solo tersebut bias melenggang mudah meraih kursi RI-1 kedua kalinya. Perlu diingat, meski cukup mengejutkan tapi pada 2004 Megawati yang petahana pun bisa kalah dalam pilpres. Padahal saat itu, PDI -- Perjuangan bisa dikatakan jauh lebih solid daripada saat ini.
Nama partai berlambang banteng itupun masih tidak terlalu kotor dengan noda koruptor. Tapi, manuver "Asal Bukan Mega" yang bergema, sampai -- sampai membentuk empat poros kekuatan dalam menantang petahana saat itu cukup sebagai alasan tumbangnya sang putri proklamator tersebut.
Kemudian, kejutan pemilu kembali terulang pada 2017. Saat itu pilkada DKI yang menjadi momok bagi PDI -- Perjuangan dan kawan -- kawan. Bagaimana tidak, nama Basuki Tjahja Puranama pada dasarnya terlalu kuat untuk ditaklukan.
Tapi, karena selip lidah yang mengantarkan BTP mendapat julukan "penista agama" sanggup meluluh lantahkan segala perjuangan mantan Bupati Belitung Timur itu. Padahal, meski tanpa partai politik dukungan kepada BTP cukup besar di DKI bahkan lebih besar daripada perolehan PKS di pilegkada sebelumnya.
Kegagalan kejutan terakhir adalah, kalahnya Djarot Saiful Hidayat di Sumatera Utara. Semenjak menjadi Wakil Gubernur DKI, kemudian menjadi Gubernur menggantikan BTP, Djarot adalah seorang tokoh nasional. Jokowi -- BTP -- Djarot seringkali disebut -- sebut sebagai tiga sekawan pembawa perubahan di Jakarta juga seharusnya di Indonesia. Tapi, politik berkata lain. Djarot harus menelan kekalahan kedua kalinya dalam pilkada.
Yang mungkin tidak disadari oleh pendukung Megawati pada 2004 lalu, juga BTP pada 2017 silam, dan Djarot pada pilkada 2018; bahwa prestasi tidak terlalu berpengaruh untuk mendongkrak suara pemilih. Khawatir, bahwa sekeras apapun pendukung Jokowi bercerita tentang kehebatan dan prestasi sang petahana, tidak cukup kuat untuk menahan serangan dari lawan.
Maka, jika benar -- benar hendak memenangkan Pilpres kali ini, sebaiknya pendukung Jokowi mulai berpikir ulang manuver politik yang akan digunakan. SBY pada pilpres 2009, tidak pamer prestasi tapi menang. Anies pada pilkada DKI 2017, tidak menunjukkan kekuatan, tapi menang. Artinya, ternyata bukan prestasi yang dilihat pemilih. Tapi janji! Siapa berjanji lebih manis -- entah terwujud atau tidak -- akan mendapat simpati public.
Disamping itu, menahan serangan lawan bukan justru menyerang balik. Serangan seperti "antek PKI", "Anti Islam", "Neo Liberal" dan kawan -- kawan seharusnya dilawan dengan penjelasan yang clear. Bukan justru memberi counter attack dengan menyebut silsilah lawan politik Jokowi.
Tidak ada gunanya, masyarakat sudah lebih dulu menelan kabar tentang Jokowi maka kabar itulah yang harus diluruskan.
Tanpa memperhatikan kegagalan kejutan tiga kali PDI -- Perjuangan sebelumnya, maka peluang Jokowi tumbang di 2019 masih mungkin terjadi. Yang harus diingat adalah; Joko Widodo merupakan kader PDI -- Perjuangan yang seringkali mendapat fitnahan sebagai turunan PKI. Ini adalah gerbang utama masuknya serangan membabi -- buta yang akan menelantarkan calon pemilih Jokowi pada kebingungan yang tidak biasa.