Mohon tunggu...
Dan Jr
Dan Jr Mohon Tunggu... Lainnya - None

私の人生で虹にならないでください、私は黒が好きです

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Indonesia yang Ramah

18 Maret 2018   10:11 Diperbarui: 18 Maret 2018   10:23 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: suaradewata.com

Begitu banyak komentar datang dari para pemuka dunia tentang Bangsa Indonesia. Mereka seringkali menyebut bangsa ini ramah dan bersahabat. Tidak hanya oleh selebritas tersebut, bahkan turis mancanegara yang berstatus sebagai 'warga biasa'pun menghadapi hal serupa khususnya di kota - kota tertentu yang merupakan tombak utama pariwisata negri ini. Sebut saja Kuta dan Jogja, dimana pelancong bisa merasa bahagia setiap kunjungannya. Tapi, kata "bersahabat" tidak melulu berlaku, terlebih di daerah-daerah yang masih "awam" pada potensi wisata mereka. 

Adalah Sumatera Utara, provinsi yang terkenal dengan Berastagi yang indah, Bukit Lawang yang menawan, dan Danau Toba yang memikat. Tapi bule tidak melulu dapat keramahan dan persahabatan ditempat ini. Sebuah pengalaman unik tapi cukup membuat hati bergetar saat saya bertemu sepasang wisatawan asing di bandara Kuala Namo beberapa minggu lalu. Sedihnya, saya kembali bertemu dengan turis asal Irlandia itu di Berastagi beberapa hari lalu. Kenapa saya katakan sedih?  Ternyata Berastagi bukanlah tujuan utama dan pertama bagi mereka. Mereka nyasar di tanah karo sebab tidak mendapat petunjuk arah yang benar dari masyarakat. Dari ceritanya, seharusnya mereka berada di Bukit Lawang, bukan berastagi.

Pertemuan kedua itu membuat saya terenyuh, terlebih wisatawan tersebut adalah backpacker yang pastinya punya dana terbatas untuk berwisata. Akhirnya,saya memutuskan untuk mengantar mereka ke tujuan utama mereka. Meski harus merogoh kocek sebagai ongkos bertiga, tak apalah mengingat pengalaman serupa yang pernah saya alami di kampung orang. 

Dalam perjalanan, banyak kisah yang dibagikan pada saya. Selama hidup beberapa minggu di Tanah Karo, ternyata tidak banyak yang paham dengan bahasa Inggris sehingga seringkali mereka kesulitan dalam berkomunikasi. Lalu, harga - harga pun menjadi mahal, biaya yang cukup mahal harus dikeluarkan untuk transportasi dan penginapan. Belum lagi menyoal Visa yang harus segera diurus sebab batas waktu yang sudah hampir habis untuk menetap di Indonesia. Mereka harus meninggalkan Indonesia dalam beberapa hari kedepan, padahal tujuan utamanya belum juga kesampaian. Sedih bukan? 

Dari sini, saya mendapat pelajaran bahwa bagi kebanyakan kita, bule dianggap sumber uang. Padahal belum tentu juga mereka benar - benar banyak uang. Tingkat kepedulian kita terhadap sesama manusia masih kurang. Bayangkan saja, turis bisa nyasar berpuluh - puluh kilometer dari tujuan utama mereka. Lebih lanjut, pemahan bahasa asing di negri ini juga masih terbatas. Bahkan untuk sekelas pelajar sekalipun. Mungkin sudah saatnya "percakapan" dalam bahasa Inggris diutamakan sebagai pelajaran di sekolah daripada sekedar grammar dan manner. Karena tidak semua pelajar akan melanjutkan diri pada sastra bahasa asing nantinya. 

Inilah pengalaman yang saya dapatkan. Setelah mengantar dua orang asing itu di Bukit Lawang, saya harus pergi meninggalkan. Sebab ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, juga dana dalam tabungan yang penuh keterbatasan. 

Setidaknya saya bisa ucapkan terimakaaih kepada masyarakat yang sudah membuat dua orang Irlandia itu nyasar. Sebab saya bisa punya dua sahabat baru atas kejatian tersebut. 

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun