Namun, bukankah perasaan yang sebenarnya merupakan ia yang saling, bukan yang paling?
Ketika kau ingin bercerita serta berkeluh kesah tentang keseharianmu, ia dengan mudah menepis dan beralasan ingin segera beranjak tidur.Â
"Sudah malam" ucapnya dalam kolom chat terakhir.Â
Namun tiga puluh menit kemudian, ia online kembali tanpa peduli bahwa kamu begitu ingin bercerita padanya.
Saat ia ingin keluar untuk sekadar jalan-jalan atau nongkrong di suatu kedai, kau dengan cepat meng-iyakan ajakannya. Kau ajak dia ke tempat paling istimewa yang ada di pusat kota.Â
Namun apa daya, walau kau dan dia memesan minuman di satu meja yang sama, pandangannya melebur pada ponsel yang berada dalam genggamannya.Â
Kau hanya menemani raganya, bukan menemani hatinya.
Kau hanya duduk bersampingan, bukan duduk berdampingan.Â
Namun, ketika kamu yang akan mengajaknya keluar, ia meng-iyakan ajakanmu, namun sepuluh menit kemudian saat kau hendak berangkat menjemputnya, tanpa rasa bersalah ia membatalkan ajakanmu.Â
Itu lho, kok ada orang yang bisa-bisanya memainkan perasaan hati? Mantap nian kan diajak untuk "jalanin aja dulu"?
Jika sudah seperti itu, ada baiknya kau telaah lagi.Â
Apakah hal semacam itu yang hati kecilmu inginkan?Â
Berjalan dalam sebuah ketidakpastian dan bertahan dalam kesakitan?