Mohon tunggu...
Damien Tanujagat
Damien Tanujagat Mohon Tunggu... Copywriter

Saya adalah seorang copywriter profesional yang berdomisili di Surabaya, dengan pengalaman dalam menulis berbagai jenis konten kreatif, mulai dari copy iklan, artikel, hingga materi pemasaran digital. Dengan pemahaman yang mendalam tentang strategi komunikasi dan branding, saya membantu bisnis dan organisasi menyampaikan pesan mereka secara efektif kepada audiens yang tepat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Paradoks Tragis Yitzhak Rabin: Hamas, Kejahatan Perang, dan Proyek Israel Raya

18 Februari 2025   15:41 Diperbarui: 18 Februari 2025   15:41 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keputusan oleh Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) untuk mengeluarkan tuntutan kejahatan perang terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan pemimpin Hamas Yahya Sinwar telah mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh lanskap politik internasional. (Artikel BBC terkait)

Namun, di tengah keributan itu, muncul sebuah pola yang meresahkan---pola yang dapat ditelusuri kembali ke seorang pria yang sering dikenang sebagai penengah tetapi tindakannya secara tidak sengaja meletakkan dasar bagi perang abadi: Yitzhak Rabin. (Artikel WSJ yang telah disembunyikan)

Rabin, negarawan Israel yang dihormati karena Perjanjian Oslo, juga terlibat dalam pembentukan Hamas yang strategis. Pada tahun 1980-an, di bawah jabatan Rabin sebagai Menteri Pertahanan, Israel mendorong munculnya faksi-faksi Islam radikalis di Gaza sebagai penyeimbang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang sekuler dan nasionalis. Logikanya jelas: perlawanan Palestina yang terpecah akan lebih mudah dikelola. Dukungan Israel terhadap Hamas---baik melalui pendanaan tidak langsung, pelonggaran pembatasan, atau persetujuan diam-diam---memungkinkannya tumbuh dari sekadar gerakan keagamaan menjadi pemberontakan bersenjata. Apa yang dimulai sebagai alat untuk melemahkan PLO dengan cepat berubah menjadi kekuatan yang tidak terkendali, yang kemudian akan digunakan untuk membenarkan kampanye militer Israel yang brutal di Gaza.

Maju cepat ke masa kini, dan keadaan tampaknya mengikuti skenario yang sangat mirip. Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 terjadi pada saat krisis internal Israel, dengan protes massal terhadap perombakan peradilan Netanyahu yang mengancam akan mengganggu stabilitas pemerintahannya. Adakah cara yang lebih baik untuk mengonsolidasikan kekuasaan selain serangan dahsyat yang menyatukan negara dalam keadaan darurat? Adakah cara yang lebih baik untuk mengalihkan perhatian dari perbedaan pendapat dalam negeri selain terlibat dalam perang lagi?

Selama beberapa dekade, penderitaan warga Palestina telah dimanfaatkan---bukan untuk pembebasan mereka, tetapi untuk kelanjutan proyek Israel Raya. Visi ini, yang berupaya memperluas kedaulatan Israel hingga ke wilayah Palestina, tumbuh subur karena konflik yang terus-menerus. Setiap perang dengan Hamas berfungsi untuk membenarkan perluasan permukiman, perampasan tanah, dan kendali militer. Bahkan ketika para pemimpin Israel mengklaim bertindak untuk membela diri, hasilnya selalu sama: warga Palestina kehilangan lebih banyak tanah, dan sayap kanan Israel memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan.

Tuduhan ICC mungkin tampak seperti terobosan, tetapi orang harus bertanya---siapa yang benar-benar diuntungkan dari siklus ini? Palestina? Tidak mungkin. Setiap eskalasi membawa gelombang pengungsian dan kehancuran baru. Hamas? Mungkin sementara, tetapi tindakan mereka memberi Israel banyak alasan untuk tindakan keras lebih lanjut. Pemenang sebenarnya adalah mereka yang menginginkan Israel yang membentang dari sungai hingga laut---bukan untuk kebebasan Palestina, tetapi untuk hegemoni Israel yang tak tertandingi.

Yitzhak Rabin, yang dibunuh karena berupaya mencapai perdamaian, secara paradoks berperan penting dalam menciptakan kekuatan yang membuat perdamaian itu tidak dapat dicapai selamanya. Pelajaran sejarahnya jelas: selama perlawanan Palestina terpecah-pecah dan tidak disekulerisasi, dan selama ekspansionisme Israel bergantung pada dalih keamanan, siklus ini akan terus berlanjut. Dunia harus mengakui pola ini, atau keadilan akan tetap menjadi ilusi, dan perdamaian menjadi mimpi yang tidak dapat dicapai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun