Mohon tunggu...
Rayhan Damatis
Rayhan Damatis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca novel, Suka dengan topik ekonomi dunia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Joe Biden dan Nawacita American Rescue Plan

1 Juni 2022   22:00 Diperbarui: 1 Juni 2022   22:04 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok: tax foundation

Pada Februari 2021, konstelasi politik Amerika Serikat resmi berakhir. Pertarungan sengit akhirnya dimenangkan oleh Joseph Robinette Biden Jr. atau yang lebih dikenal dengan nama Joe Biden dan Kamala Harris sebagai pasangannya. Pesta demokrasi yang dilaksanakan lima tahunan tersebut ditandai dengan overlapping suara di dua negara bagian pada menit-menit akhir dan mengakhiri masa pemerintahan Donald Trump.

Tanpa terasa sudah 200 hari kerja dilalui oleh pasangan Biden dan Kamala sebagai pemimpin negara "yang konon katanya" adidaya. Berbagai pencapaian telah dilakukan, walaupun masih sekadar klaim, dan mengaku telah meningkatkan berbagai variabel pendongkrak ekonomi, seperti akses kesehatan, kesempatan kerja, dan bahkan melandaikan kurva melalui program vaksinasi demi tercapainya herd immunity.

Keberhasilan mereka disemarakkan melalui keefektifan program yang diberi nama American Rescue Plan. Biden sangat ambisius dengan program ini walaupun hal tersebut lumrah akibat tidak ingin disamakan dengan petahana sebelumnya hingga menciptakan diksi-diksi program yang ciamik layaknya Anies Baswedan yang sangat tidak sepakat dengan normalisasi dan memilih untuk menggunakan diksi naturalisasi. Pada akhirnya, inti program tersebut adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui akses pendidikan, perbaikan layanan kesehatan, dan insentif ekonomi.

  • Kontradiksi Bantuan Langsung Tunai ala Biden

Layaknya Jokowi, Biden juga memiliki program bantuan tunai yang dikenal sebagai Economic Impact Payments (EIPs) dan didistribusikan kedalam tiga termin. Meninjau bagaimana masyarakat memanfaatkan BLT tersebut, US Census Bureau (2021) merilis working paper bertajuk respon konsumen terhadap program EIPs dan menemukan bahwa rumah tangga menggunakan stimulus untuk melunasi hutang-hutang, diikuti dengan pengeluaran serta tabungan dan itu terjadi pada program BLT ala Biden (Round 3). Melihat fenomena tersebut, terjadi penyalahgunaan stimulus ekonomi oleh rumah tangga yang seharusnya digunakan untuk konsumsi.

Dibandingkan dengan program penetrasi ekonomi ala Jokowi, BLT dan restrukrisasi kredit menjadi program yang terpisah, walaupun program tersebut menyasar UMKM yang tidak tersentuh oleh fasilitas perbankan serta BLT yang semerawut perihal data penerima manfaat dan tidak memiliki sistem yang terintegrasi dan dapat diakses publik.

Kembali ke perilaku rumah tangga, hal tersebut mengulang kembali kejadian pada krisis 2008 yang menggunakan stimulus ekonomi untuk melunasi hutang --- hutang. Oliver Coiboin, Yuriy Gorodnichenko, Michael Weber (2020) melihat dua kemungkinan, pertama, lockdown menutup saluran pengeluaran rumah tangga seperti wisata, rekreasi, dan bisnis. Kedua, terjadinya the law of diminishing return dimana semakin besarnya stimulus yang diberikan, semakin tidak ingin si penerima manfaat untuk menggunakannya. Sehingga, Biden perlu meninjau kembali bagaimana stimulus berjalan dilapangan dalam rangka merampingkan anggaran pemerintah pula agar lebih efisien. Tentunya kesuksesan program perlu sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga Amerika Serikat dan terbukti, Biden sukses meningkatkan pengeluaran rumah tangga hingga 58,4% (US Labor Statistics Bureau, 2021), tentunya masih ada catatan kecil mengenai distribusi pengeluaran yang berfokus kepada sektor properti (housing) oleh masyarakat berpendapatan tertinggi (US Labor Statistics Bureau, 2021) dan hal tersebut berkenaan dengan investasi yang mematikan cash flow.

  • Biden yang mengejar bonus demografi

Bonus demografi bukan sembarang bonus bagi Biden. Beliau perlu mawas diri melihat pertumbuhan penduduk yang mencetak rekor dengan pertumbuhan terendah selama 120 tahun terakhir, yakni 0,4% (Bank Dunia, 2020). Berkiblat dari Indonesia, tentu Biden harus memaksakan penduduknya untuk mengikuti skema banyak anak, banyak rezeki ketimbang my body, my choice. Hasil tersebut sudah mulai terlihat di ufuk tahun dengan banyaknya usia produktif yang keluar dari pekerjaannya, sebanyak 4,4 juta orang (CNN, 2021) akibat orientasi pekerja yang bergeser pasca pandemi dan berdampak kepada supply tenaga kerja. Perusahaan pun berbondong-bondong untuk menggaet kembali para pekerja dengan memberikan lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan skema pasca pandemi, seperti work from home, bekerja 32 jam seminggu, dan insentif lainnya.

Dilihat dari sudut pandang lain, hal ini tidak lumrah. Lapangan pekerjaan sebagai komoditas normal atau kondisi dimana seiring bertumbuhnya pendapatan, permintaan akan komoditas itu pun meningkat, seharusnya akan selalu diisi untuk tenaga kerja yang tersedia. Naasnya, tidak ada titik ekuilibrium yang dapat mempertemukan kedua belah pihak.

Departemen tenaga kerja menyatakan bahwa terdapat 10,4 juta lapangan pekerjaan yang dibuka per November 2021 dengan rasio 7 orang keluar dengan dibukanya 10 lapangan pekerjaan. Hal tersebut menandakan turnover yang tinggi dan mengakibatkan apa yang disebut sebagai games of musical chair (Ron Hetrick, 2021) atau permainan di mana pemain berbaris mengikuti musik di sekitar deretan kursi bernomor satu kurang dari pemain dan berebut kursi ketika musik berhenti. Merujuk kepada fenomena the great resignation, pengusaha di industri yang kompetitif berjuang untuk pekerja yang berhenti pada tingkat turnover maksimum.

Biden pun menciptakan solusi dengan memberikan insentif berupa kredit pajak yang dibebankan kepada keluarga yang memiliki anak dan terhitung berdasarkan jumlah anak yang dimiliki. Unik? tentu, dan akan laris manis jika ditempatkan di Indonesia. Melihat realisasi dilapangan, per Mei 2021, program telah memastikan 88% anak di Amerika Serikat terdanai (Bureau of Fiscal Policy, 2021). Penulis pun terkesima dan dibuat takjub, namun kesalahannya ada pada empati masyarakat untuk meningkatkan jumlah penduduk yang tidak dapat diwakili melalui pajak. Sehingga, program kerja dinilai sebagai bantuan insentif ekonomi semata ketimbang program peningkatan pertumbuhan penduduk dalam agenda mencapai bonus demografi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun