Hujan turun tak kunjung reda. Sejak beberapa hari ini, langit seperti kelebihan air untuk diturunkan ke bumi. Tak siang, malam pun hujan turun dengan dinamikanya.
Sementara, masyarakat atau keluarga yang sudah menetapkan hari untuk membuat lamang atau istilah Piaman "malamang", tidak mungkin menggeser hari atau menunda membuat makanan khas itu.
Apalagi, bulan ini masih dalam suasana maulid di daerah rantau Piaman ini. Maulid seiring dengan tradisi malamang. Ya, maulid di Piaman lama waktunya.
Tidak maulid saja membuat lamang. Mengaji kematian pun jadi ajang membuat lamang. Lamang memang makanan enak. Apalagi kalau seiring pula dengan musim durian.
Lamang jadi laku keras. Tak cukup lama yang banyak. Sebentar habis, kalau musim durian.
Hujan yang turun sejak malam tadi, tampak tidak mengurangi semangat ibu-ibu di Gadur membuat lamang.
Mereka membuat lamang untuk peringatan tujuh hari wafat salah seorang anggota keluarga yang meninggal dunia Jumat kemarin.
"Tetap membuat lamang. Ini tradisi dalam mengaji kematian. Keluarga kami yang meninggal dunia, dan Kamis besok menujuh harinya," kata Hendrizal Palo, salah seorang keluarga itu.
Menurut dia, lamang dimasak sehari sebelum hajatan tujuh hari itu. Dan penyelenggaraan terhadap yang meninggal dunia itu, mulai malam pertama sehabis dimakamkan.
Lalu, dua dan tiga hari. Terus tujuh hari terkenal dengan menujuh hari. Lanjut dua kali tujuh, empat puluh dan terakhir seratus hari.
Hampir semuanya membuat lamang dalam tradisi masing-masing itu. Merupakan warisan, adat lama pusaka usang, yang tak lapuk kena hujan dan tidak pulang lekang terkena panas.
Karena hujan tak kunjung reda, malang sengaja dilakukan di sebuah pondok. Sebab, kalau di halaman mati apinya terlena air hujan, dan tentunya tak jadi lamang masak.
Yang ibu-ibu sigap dengan mengatur api di bantaran lamang, sementara kerabat laki-laki sibuk pula dengan mengakut sabut kelapa dan kayu bakar untuk memasak lamang tersebut.
Sedangkan sebagian ibu-ibu lainnya memasak nasi dan lengkap dengan sambalnya di dapur.
Sebab, kerja malamang juga diselingi dengan makan bersama. Sebuah gambaran kebersamaan, gotong royong dalam tradisi malamang tersebut.
Cerita malamang adalah kisah kehidupan sosial di tengah masyarakat Piaman. Kerabat dekat, ipar besan hadir dan ikut membantu membuat makanan itu.
Makanya, dalam alek kematian dan maulid nabi, sebuah rumah tangga itu tak bisa sedikit membuat lamang.
Harus banyak. Apalagi kalau keluarga ini berkembang, dan terjadi penambahan keluarga setelah satu sama lainnya berhubungan lewat nikah kawin.
Antar nagari pun sedikit berbeda cara pelaksanaan baralek kematian itu. Ada yang saat menujuh hari, dan banyak yang saat empat puluh atau meratus hari.
Tetapi itu sama. Sama-sama malamang, mengabarkan hajatan itu ke banyak tetangga dan kaum kerabat jauh dekat.
Di Gadur, tempat keluarga Hendrizal Palo manujuah hari itu rupanya sudah mulai baralek kematian saat awal.
Artinya, begitu tinggi rasa kekeluargaan dan kekompakan di nagari itu dalam menghadapi musibah kematian. (ad)