Hampir semuanya membuat lamang dalam tradisi masing-masing itu. Merupakan warisan, adat lama pusaka usang, yang tak lapuk kena hujan dan tidak pulang lekang terkena panas.
Karena hujan tak kunjung reda, malang sengaja dilakukan di sebuah pondok. Sebab, kalau di halaman mati apinya terlena air hujan, dan tentunya tak jadi lamang masak.
Yang ibu-ibu sigap dengan mengatur api di bantaran lamang, sementara kerabat laki-laki sibuk pula dengan mengakut sabut kelapa dan kayu bakar untuk memasak lamang tersebut.
Sedangkan sebagian ibu-ibu lainnya memasak nasi dan lengkap dengan sambalnya di dapur.
Sebab, kerja malamang juga diselingi dengan makan bersama. Sebuah gambaran kebersamaan, gotong royong dalam tradisi malamang tersebut.
Cerita malamang adalah kisah kehidupan sosial di tengah masyarakat Piaman. Kerabat dekat, ipar besan hadir dan ikut membantu membuat makanan itu.
Makanya, dalam alek kematian dan maulid nabi, sebuah rumah tangga itu tak bisa sedikit membuat lamang.
Harus banyak. Apalagi kalau keluarga ini berkembang, dan terjadi penambahan keluarga setelah satu sama lainnya berhubungan lewat nikah kawin.
Antar nagari pun sedikit berbeda cara pelaksanaan baralek kematian itu. Ada yang saat menujuh hari, dan banyak yang saat empat puluh atau meratus hari.
Tetapi itu sama. Sama-sama malamang, mengabarkan hajatan itu ke banyak tetangga dan kaum kerabat jauh dekat.
Di Gadur, tempat keluarga Hendrizal Palo manujuah hari itu rupanya sudah mulai baralek kematian saat awal.
Artinya, begitu tinggi rasa kekeluargaan dan kekompakan di nagari itu dalam menghadapi musibah kematian. (ad)