Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Gelar Tuanku di Pesantren Berbasis Surau

23 Oktober 2022   18:15 Diperbarui: 23 Oktober 2022   18:25 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringatan hari santri nasional di MTI Padang. (foto dok damanhuri)

Jadi santri sepanjang masa. Bisa. Harus bisa. Setidaknya, orang yang pernah mondok akan merasa risih bila disebut mantan santri.

Apalagi masanya menuntut ilmu di pesantren cukup panjang dan lama. Dia akan bangga dengan dilabeli sebagai santri oleh banyak orang.

Ini yang saya rasakan saat ini. Berbekal mengaji atau jadi santri sejak usia sekolah SD, menjadikan santri sebuah kekuatan dalam diri saya untuk senang berproses.

Tentu ini punya alasan tersendiri. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu dari hayunan hingga liang lahat.

Menuntut ilmu tak ada batasnya. Itu kira-kira nasehat guru besar pesantren saat acara prosesi menamatkan kaji di pesantren.

Dari kelas lima SD, saya sudah mulai mengaji kitab kuning dasar. Ya, tidak menetap sih. Pulang balik dari rumah ke sebuah surau di kampung.

Tamat SD, orangtua saya melihat bakat dan minat saya jadi santri cukup berpotensi, dia antar saya merantau ke Batusangkar.

Pondok Pesantren Darul Ulum namanya. Di situ saya belajar. Lima tahun lamanya mendalami kajian kitab kuning, bergaul dengan masyarakat dan santri yang datang dari berbagai daerah di Sumbar.

Selama itu, tiga asrama yang saya tempati. Mengaji dan belajar dengan guru senior. "Guru tuo" panggilan santri yunior ke senior.

Tentu panggilan kehormatan, sebagai adab di pesantren. Adab memuliakan guru atau yang senior meskipun kita tidak belajar dengan dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun