Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekilas Cerita Gempa Besar 30 September 2009

30 September 2022   08:13 Diperbarui: 30 September 2022   08:15 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu rumah warga yang rata dengan tanah saat gempa 2009. (foto dok muhardi koto)

Rabu 30 September 2009, petang gempa dahsyat itu mengguncang. Tanah Minang bergoyang hebat. Kota Padang lumpuh seketika, pekikan dan tangisan terdengar sayup sampai di kaki Gunuang Tigo.

Tiga kampung saat bersamaan dengan gempa senja itu juga terjadi longsor. Ratusan anak manusia ditimbun tanah. Dan di sana pula tugu peringatan gempa dibuat.

Cumanak nama kampung kecilnya, berada di Nagari Tandikek, Kabupaten Padang Pariaman. Setelah Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman adalah daerah yang paling parah akibat gempa 13 tahun tersebut.

Ribuan rumah rata dengan tanah. Dan beberapa tahun setelah kejadian, masyarakat pun bangkit. Rumah permanen pakai anti gempa pun tegak dengan kokohnya.

Dunia hadir dan datang ke daerah ini. Ya, dalam bentuk prihatin dan misi kemanusiaan. Apalagi anak rantau. Daerah ini terkenal dengan banyak perantau.

Karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum. Kerantau bujang dahulu, di kampung berguna belum.

Itu falsafah Minang, yang menjadi pemicu sejak dulunya, tak ada orang Minang yang sukses di kampung.

Berbagai tafsiran mencuat ke publik terkait gempa yang sama tanggalnya dengan G30S. Sebab, sejarah kelam tahun 1965 itu sering dikaitkan dengan musibah gempa dahsyat yang terjadi Rabu 30 September 2009.

Ditambah, kampung yang paling parah dan memakan banyak korban akibat gempa itu adalah VII Koto lama, yang menurut cerita banyak orang di wilayah ini dulunya tergambar menjadi sarangnya G30S.

Tidak hanya rumah dan perkantoran yang rusak dan punah, sejumlah masjid dan surau pun ikut rata dengan tanah. Pun tafsiran keagamaan menjadi bahan diskusi di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun