Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lewat Bertani dan Bertukang, Ayah Menanamkan Kemandirian dalam Hidup

24 Juni 2022   15:08 Diperbarui: 24 Juni 2022   15:13 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang petani sedang meratakan lahan sawahnya yang akan di tanami padi di Sicincin. (foto dok damanhuri)

Saya terlahir dari ayah dan ibu yang berprofesi petani. Dan sejak kecil, ketika usia sekolah SD, saya sering diangkut ke sawah dan ladang oleh ayah.

Meskipun petani penggarap sawah dan ladang, ayah saya terkenalnya sebagai seorang tukang bangunan. Artinya, dua profesi ini melekat dalam diri ayah. Bila tak ada kerajaan membuat bangunan, ayah menghabiskan waktunya di sawah atau di ladang.

Kepandaian tukang bangunan ini langsung didapatkan ayah dari ayahnya pula. Sampai ayah meninggal dunia 2014, profesi tukang ini tetap melekat dalam dirinya.

Sayang, kepandaian ayah itu tak mampu melekat ke saya. Padahal, ayah ingin sebenarnya saya pandai terhadap ilmu yang dia punyai itu.

Berkali-kali dan sering saya ikut ayah bekerja di rumah orang, ikut jadi kulinya, namun tak pernah bisa saya bertulang itu.

Begitu juga bertani. Sering saya ikut ke sawah dan ke ladang, ikut menyabit padi, bertanam, dan juga membajak sawah dengan kerbau, tapi setelah ayah pergi selamanya, profesi itu tak bisa melekat dalam diri saya.

Ke ladang, saya juga sering ikut dan membantu pekerjaan ayah yang sering bekerjasama dengan kawan berladang cabai.

Ladang cabai di Nagari Lurah Ampalu, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman ini panennya dua kali dalam sepekan, yakni Selasa dan Jumat.

Pulang sekolah, saya langsung ke ladang yang kala itu sawah yang dijadikan ladang oleh ayah bersama kawannya.

Cabai yang dipetik Jumat, Sabtunya diangkut ke Pasar Ampalu. Sedang yang dipetik Selasa untuk dijual ke Pasar Sungai Sariak Rabu, hari pekannya Sungai Sariak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun