Puasa yang sia-sia. Ini judul dan materi ceramah Ramadhan yang diminta panitia Masjid Al-Furqan, Kampuang Ladang, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman kepada saya pada malam kedua atau Selasa (13/4/2021) lalu.
Jemaah sangat ramai. Maklum, awal-awal puasa. Ruang shalat sejak dari dalam sampai ke teras masjid penuh oleh jemaah yang pada umumnya penghuni komplek Perumahan Haji Nurdin Kampuang Ladang tersebut.
Untuk Lubuk Alung, komplek itu termasuk kawasan elit, karena banyak dihuni oleh pengusaha, pejabat dan orang-orang berada. Rata-rata tiap malam itu terkumpul sumbangan dari jemaah mencapai Rp800 ribu, saking banyak dan pedulinya masyarakat yang menjadi jemaah setia masjid demikian.
Waktu shalat-nya pun mulai pas waktu Isya masuk. Para pengurus yang duduk di barisan saf di depan sibuk lihat kiri dan kanan. Malam itu sang imamnya terlambat datang.
"Tuanku, maju ka muko," demikian Ajo Iskandar, salah seorang jemaah yang dari tadi melihat saya duduk di barisan saf paling belakang, lantaran agak terlambat datang.
Mendengar itu, Pak Herman langsung langsung melengong ke belakang. Seraya mengubit saya untuk pindah ke saf paling depan. Muazin langsung iqamah.
"Yang biasa saja imamnya, pak," kata saya pada saat Pak Herman menyuruh saya maju lantaran imam belum juga datang. Saya langsung ke muka, tempat imam berdiri mengimami Shalat Isya berjemaah.
Selesai Shalat Isya berjemaah, zikir dan doa dengan surang-surang, panitia langsung berdiri sambil menyampaikan beberapa hal penting untuk diketahui jemaah.
Di antaranya soal uang masuk pada malam perdana Ramadhan. "Di kampung kita orang belum puasa," bisik Pak Herman ke saya. Ya, terdengar kabar di VII Koto Sungai Sariak dan perkampungan lainnya di Padang Pariaman, puasa baru akan di mulai Kamis, setelah Rabu sorenya melihat bulan.
Tapi itu tak masalah. Toh perbedaan memulai hari puasa itu sudah berlangsung sangat lama. Tentunya, perbedaan itu menjadi rahmat di tengah masyarakat. Soal mana yang betul atau yang salah, adalah urusan Tuhan.
Orang yang awal puasanya disebut dulunya kaum maju. Sedangkan yang terlambat puasanya tersebut sebagai kaum kuno. Untuk VII Koto Sungai Sariak pedoman memulai puasa, adalah letusan meriam Ambuang Kapua Sungai Sariak. Meriam di lepas setelah adanya kesepakan bulan tampak.
Dan letusan meriam itu biasanya setelah berbunyi beduk Masjid Raya VII Koto Sungai Sariak di Ampalu. Dulu, saat alat komunikasi belum se canggih sekarang, kadang letusan meriam bisa tengah malam. Sejam orang akan makan sahur, baru terdengar bunyi meriam yang lumayan keras dan kuat.