Mohon tunggu...
dalhar dewe
dalhar dewe Mohon Tunggu... -

S1 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Siapa Guru Siapa Murid

18 November 2010   12:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Guru dengan seperangkat predikat, pada masa lalu dikenal dalam singkatan jawa “jarwo dhosok”, adalah “di gugu lan di tiru” ( dipercaya dan dijadikan tauladan ), disamping predikat yang popular adalah ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Adalah predikat yang sangat luar biasa, maka menjadi wajar sewaktu Kaisar Hirohito, pasca bom Atom di Hirosima dan Nagasaki menanyakan, berapa guru yang masih hidup. Apalagi Ki Hajar Dewantara, juga menempatkan Pusat Pendidikan nomor dua setelah keluarga, adalah Pusat Pendidikan, yaitu Sekolah, dimana guru secara totalitas berpartisipasi.

Mengingat Masa Kecil.

Sewaktu saya di bangku SR ( Sekolah Rakyat ) yang sekarang menjadi SD ( Sekolah Dasar ), sewaktu guru datang dengan sepeda onthel, dan biasanya tas besar menggantung di “planthangan” sepedanya. Para murid sudah menanti, jauh dari tempat belajar/sekolah. Setelah menyalami guru, berebutan murid mohon agar diberi kepercayaan untuk menuntun sepedanya. Dengan kebanggaan tersendiri murid yang diijinkan menuntun sepeda diikuti murid lain mendorong dari belakang. Lebih istimewa lagi, bagi murid yang dipercaya membawakan tas yang tadinya menggantung di “planthangan” sepedanya.

Sewaktu istirahat, biasanya murid pergi jauh mencari buah di tegalan, kebun dan sawah. Nah sewaktu bel masuk, yang dibunyikan dengan memukul besi potongan rel kereta api yang digantung dipojok sekolah, nyaris tak terdengar oleh para murid. Sang guru dengan sepedanya mencari murid di tempat siswa mencari buah. “Jam belajar lagi, telah dimulai” teriak guru. Berlarian murid kembali ke kelas.

Sekali waktu yang saya ingat, ban sepeda guruku mau meletus, karena kawat yang memutari ban ada yang putus, segera dikurangi angin di ban, dan saya pulang mengambil tang dan kawat, kemudian ban ditali dengan kawat di beberapa tempat, kemudian dipompa lagi, selamat guruku bisa pulang.

Ingatan itu selalu mengganggu saya, apakah semacam itu masih ada di zaman modern ini. Apakah dengan modernisasi sudah “merombak”/merusak semuanya. Tapi masih ada film “Laskar Pelangi” misalnya, yang mengingatkan lagi, atau sekedar nostalgia saja.

Sertifikasi.

Sekarang guru sudah menjadi primadona para pelamar pekerjaan, apalagi program pemerintah dengan adanya peluang guru untuk mengajukan sertifikasi. Berbondong guru berusaha untuk mendapatkan, meskipun disana –sini guru muda lebih lincah untuk meraih, sedang guru “sepuh”, berprinsip “alon-alon waton kelakon”

Tentunya prinsip pemerintah dengan sertififikasi, adalah untuk memacu guru dalam kwalitas yang lebih prima dalam mengajar, bukan latah, yang penting berhasil mendapatkan sertifikasi tanpa dedikasi yang sesuai. Disampng pemerintah juga bertanggung jawab dengan “klaim sertifikasi” berarti gaji meningkat. Tapi jangan diartikan kwalitas mengajar tetap, yang penting dapat sertifikasi dan tambahan gajinya.

Telah banyak diperbincangkan, diberbagai tempat, tidak perlu banyak diulas lagi. Terpenting bagi para guru mulai berkaca lagi, berkaca lagi dan lagi. Terpulang kepada pribadi masing-masing, kesadaran, keikhlasan, pengabdian, dan perjuangan tetap memenuhi gelora dada. Sehingga predikat yang tertulis diawal tulisan ini, tidak sia-sia.

Penanggung Jawab Murid.

Orang tua/ wali murid pada awal tahun ajaran, sudah merasa menyerahkan anak asuh ke sekolah, seakan melepaskan tanggung jawab, “mongso borong” pihak sekolah untuk membina. Seakan menyerahkan totalitas, Sorga atau Neraka bagi anak nantinya, diserahkan Sekolah. Tentunya sangat ironis jika pendapat ini mayoritas di benak para Orang Tua/Wali murid.

Sekolahpun kadangkala berkilah, tanggung jawabnya hanya sewaktu murid di ruang kelas. Lantas siapa penanggung jawab murid, sewaktu dihalaman sekolah sambil bermain handphone nya, yang baru ngakses internet, di kamar mandi, dihalaman sekolah, dijalan dan lain-lain.

Adakalanya, murid sudah pamit dari rumah ke sekolah, tapi juga tidak sampai di Sekolah. Sedang komunikasi dari fihak sekolah dengan Orang Tua/Wali, juga tidak ada, kalau ada, kadangkala ada orang tua yang tidak ambil peduli, sibuk dengan pekerjaan. Siapa tanggung jawab?.

Nada pessimistis, sengaja di munculkan pada kesempatan ini, sebagai bahan renungan bersama. Memang rasa khawatir selalu melintas di benak kita.

Perenungan diri.

Manusia memang diberi rasa khawatir dan kelaparan (khoufun dan Ju’in), oleh Tuhan, agar senantiasa kembali kepada Tuhan Sang Pemelihara Manusia.

Kekhawatiran kita muncul karena melihat lingkungan yang lebih mendominasi karakter murid, kalau lingkungan pilihan berada disisi yang positip dan konstruktip, akan membawa kebanggaan, namun kalau pilihan berada disisi negatip dan distruktip, kita akan ketinggalan start untuk mengejar.

Ada pilihan yang bisa ditempuh, menyiapkan lingkungan bagi murid se dini mungkin, kemudian berserah diri dan berdo’a. Masyarakat selaku pengelola lingkungan juga harus bertanggung jawab, masyarakat juga guru, orang tua/wali juga guru. Jadi tidak ada alas an saling menyalahkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun