Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dinasti Politik Cenderung Korup, Pak Wapres...

7 Januari 2017   17:23 Diperbarui: 8 Januari 2017   19:28 3096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wapres Jusuf Kalla menyatakan dinasti politik tak selalu identik dengan korupsi. Tak ada yang salah dengan pernyataan itu. Belum pernah ada penelitian yang menghasilkan kesimpulan memastikan bahwa dinasti politik sama dengan dinasti koruptor. Sementara fakta yang ada korupsi bisa dilakukan oleh dinasti politik atau bukan. 

Tetapi, pendapat bahwa dinasti politik cenderung bertindak korup juga tidak salah, khususnya di Indonesia. Kenyataan menunjukkan dinasti politik yang tumbuh subur di daerah berperilaku koruptif. Fakta hasil OTT KPK atau kasus korupsi yang terjadi memperlihatkan hal itu. 

Oleh karena itu, hingga kini masih ada yang menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir ketetapan dalam Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal ini melarang kerabat petahana maju dalam pilkada sebelum jeda satu kali masa jabatan. Adanya larangan ini bisa memutus mata rantai kekuasaan yang dikuasai satu dinasti politik secara berkelanjutan.

Wapres Jusuf Kalla menyebut contoh dinasti politik di dunia, seperti Nehru dan Gandi di India, Lee Kwan Yew di Singapura, Bush di Amerika, Fukuda di Jepang, dll. Artinya keberadaan dinasti politik dalam pemerintahan di negara demokrasi itu bukan hal baru. Persoalannya apakah tepat menyandingkan praktek dinasti politik kelas dunia itu dengan dinasti politik kedaerahan di Indonesia saat ini.

Bukan rahasia lagi tampilnya dinasti politik yang menguasai pemerintahan di daerah lebih didasari keinginan berkuasa dibanding pengabdian bagi rakyat. Ini terlihat jelas dari tampilnya penerus kekuasaan di daerah yang kemampuannya diragukan. 

Mereka ditampilkan karena membawa kepentingan dinastinya. Soal kemampuan memimpin pembangunan di daerah, sudah ada mentor yaitu penguasa sebelumnya. Soal penggalangan dukungan politik, sudah ada mesin politik dan jaringan yang tersedia. Soal dukungan finansial, sudah ada jaringan pengusaha dan penguasaan pundi-pundi yang terbentuk. Tinggal maju dan jalan.

Sebuah praktik yang lazim, tampilnya seorang penguasa selalu diiringi dengan tampilnya kelompok finansial yang menguasai berbagai bidang ekonomi strategis di daerah itu. Di Kadin dan Gapensi misalnya, akan muncul figur yang merupakan kepanjangan tangan penguasa. Demikian pula di sektor lain, termasuk pertambangan. 

Daerah yang kaya tambang baik gas atau minyak bumi, nikel, emas, batubara, atau cukup tambang galian C saja, tidak dipungkiri telah memberi manfaat secara langsung bagi kekayaan seorang pejabat dan keluarganya. Penerbitan izin, retribusi, atau fee lain itu sudah jadi cerita umum. 

Karena itu, tak heran modal besar rela diobral untuk meraih jabatan kepala daerah semacam ini. Kalau sudah menjabat dua periode tentu keluarganya bisa melanjutkan. Kan tidak dilarang. Inilah realitas kehidupan sebagian kepala daerah. Soal persentasenya mungkin perlu penelitian yang ilmiah.

Kisah bercokolnya orang-orang bupati atau pejabat yang lebih tinggi di sektor ekonomi yang strategis, baik bersentuhan dengan APBD, penguasaan tambang, BUMD, itu kisah lama. Jangan kaget kalau ada kisah saudara pejabat jadi kontraktor tapi kerjaannya hanya ngumpulkan fee proyek. Ada juga yang jadi kontraktor beneran dan mengusai proyek-proyek besar di daerah, tapi mutu garapannya amburadul. 

Selain hal semacam itu, tentu saja, kisah jual beli jabatan itu juga bukan hal baru. Sebagai penguasa daerah, wajar saja seorang bupati atau pejabat yang lebih tinggi, menguasai sektor mutasi dan penempatan pejabat. Kalau tidak, ya aneh. Selain terkait manajemen kekuasaan, hal ini juga memberi manfaat ekonomi yang tak sedikit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun