Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Belajar Memahami Kultwit Anas Urbaningrum untuk SBY

8 Februari 2017   15:47 Diperbarui: 9 Februari 2017   11:12 13507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto tribunnews.com

Anas Urbaningrum memberikan kultwit (kuliah lewat twitter) ke SBY bagaimana seharusnya menyikapi aksi demo mahasiswa di depan rumahnya di Kuningan, yang diberikan negara kepada presiden ke-6 itu. Kalau sebelumnya twit Anas tidak menyebut langsung nama SBY, kali ini nama SBY disebut secara langsung sehingga tidak ada yang bias dalam memahaminya.

Kultwit Anas ini menarik, bukan saja karena menyangkut SBY yang sekarang sedang jadi bahan pergunjingan karena pernyataan-pernyataannya. Tetapi, materi falsafah Jawa yang diangkat dan disodorkan Anas lewat cuitannya di twitter itu bisa jadi pelajaran bagi yang lain, yang ingin terjun ke dalam dunia kepemimpinan di masyarakat.   

Sebenarnya, bagi seorang Jawa, terlebih yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani, mengasuh, dan memimpin masyarakatnya, falsafah Jawa yang dikutip Anas itu bukan hal baru. Saat bersekolah formal maupun bersekolah kehidupan di masyarakat, falsafah itu yang ditampilkan sebagai nasihat atau wejangan, sering terdengar dan diperdengarkan atau diajarkan.

Jadi, apa yang di-kultwit-kan oleh Anas itu bisa dinilai sebagai pengingat, pembuka hati, agar ajaran itu tidak dilupakan dalam mengarungi kehidupan, terlebih lagi bagi seorang pemimpin, baik presiden atau pejabat lain. Bagi yang bukan Jawa, kultwit Anas itu bisa jadi pelajaran tambahan tentang kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini, yang jangan dihilangkan setelah kuliah di Kansas Amerika Serikat, misalnya.

Sebagai mantan ketua umum Partai Demokrat, doktor ilmu politik, mantan ketua umum PB HMI, dan wong Jowo, yang kini mendekam di penjara karena kasus proyek Hambalang yang mangkrak itu, Anas punya komptensi untuk mengajarkan  dan mengingatkan akan falsafah Jawa itu. Lepas dari motivasinya, ada pelajaran yang bisa diambil dari kultwitnya itu.

Inilah kultwit Anas Urbaningrum, Selasa 7/2/2017 kemarin, yang ditulis di atas kertas, dititipkan kepada sahabatnya yang lantas menuliskannya di akun Anas Urbaningrum@anasurbaningrum:

Ingat nasihat "ngono yo ngono ning ojo ngono" 

Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Bisa dimaknai orang harus bisa jaga sikap, tidak selalu menuruti hawa nafsu, berbicara dan mengeluarkan pernyataan harus dipikir dan direnungkan sehingga tidak selalu mengatakan sesuatu secara telanjang. Ada yang bisa diungkap ke publik ada yang harus disampaikan secara khusus, atau disimpan dulu di hati. Ini sikap khas kesadaran sebagai wong Jowo yang tidak "grusa-grusu sak karepe dewe". Ada tatanan yang harus dijalani.

Bung Ma'mun, @mamunmurod_sahabat saya, harap santai & senyum. Jika waktu itu kita diikuti alat2 negara, krn ada pihak yg panik.

Para sahabat, harap selalu diingat. Tidak ada kekuasaan yg abadi. "Jaman iku owah gingsir". Karma akan terus bekerja.

"Jaman iku owah gingsir" atau zaman itu selalu berubah. Bisa dimaknai zaman itu akan selalu berubah tak pernah tetap pada suatu keadaan. Ini selaras dengan falsafah "urip iku cokro manggilingan" atau hidup itu seperti putaran cakra, kadang di bawah kadang di atas. Kadang ada pada masa kejayaan, kadang pada masa kesusahan. Anas Urbaningrum tampaknya mengaitkannya dengan kekuasaan yang disandang seseorang tidak akan langgeng. Karma (balasan) atas apa yang diperbuat seorang penguasa akan terus 

Pak Presiden SBY (saat itu) yg mencintai hukum dan keadilan. Tahukah Bapak brp kali demonstran dikirim ke rumah saya? 

Saya bertanya kpd Presiden (saat itu), apakah Bapak peduli thd keselamatan dan keadilan? Alhamdulillah, saya tidak ngetuit.

Demo ke rumah pribadi jelas tidak elok. Saya berdoa smg Pak SBY diberikan ketenangan dan kesabaran.

Setiap orang Jawa yg "wis Jowo" pasti mengerti persis makna "ngundhuh wohing pakerti".

"Ngundhuh wohing pakerti" bisa dimaknai sebagai memetik buah dari amalan yang telah dijalani. Jika seseorang berbuat kebaikan, maka dia akan memetik buah dari kebaikan yang telah dijalaninya. Sebaliknya, jika seseorang berbuat keburukan atau kejahatan maka dia akan memetik buah dari keburukan dan kejahatan yang dijalaninya. Inilah hukum alam atau sunatullah yang diyakini masyarakat Jawa. "Gusti Allah ora sare" atau Gusti Allah tidak pernah tidur, itu adalah penegasan falsafah Jawa bahwa Gusti Allah pasti akan membalas amalan seseorang, dan dia tidak pernah lengah sekejap pun.)

8. Dan krn pada akhirnya, "becik ketitik, olo ketoro".

"Becik ketitik, olo ketoro" bisa dimaknai seseorang yang berbuat baik baik pasti akan ketahuan atau diketahui, demikian pula bagi yang berbuat keburukan dan kejahatan. Ini adalah sikap kepasrahan total seorang Jawa yang percaya bahwa hukum Illahi pasti akan berjalan, karena Gusti Allah itu Maha Adil, Gusti Allah itu "ora sare", dan Gusti Allah pasti akan membalas apa yang diperbuat hambanya.)

***

PENGAJARAN ANAS UNTUK SBY

Kultwit Anas Urbaningrum ini, yang secara langsung menyebut SBY memang hanya twit nomor 4, 5, dan 6 yang terkait dengan demo di depan rumah SBY di Kuningan itu: 

"Pak Presiden SBY (saat itu) yg mencintai hukum dan keadilan. Tahukah Bapak brp kali demonstran dikirim ke rumah saya?; Saya bertanya kpd Presiden (saat itu), apakah Bapak peduli thd keselamatan dan keadilan? Alhamdulillah, saya tidak ngetuit; Demo ke rumah pribadi jelas tidak elok. Saya berdoa smg Pak SBY diberikan ketenangan dan kesabaran."

Dengan jelas, meski tidak menggunakan kalimat langsung, Anas mengajari SBY bagaimana seharusnya bersikap atas demo itu. Meski demonstran beberapa kali dikirim ke rumahnya, Anas Urbaningrum tidak pernah mentwit di twitter. Anas mengakui bahwa demo ke rumah pribadi jelas tidak elok. Dia juga mendoakan agar SBY diberi ketenangan dan kesabaran.

Untuk memahami twit Anas ini memang harus membaca secara utuh twit SBY paska rumahnya di demo, Senin lalu. Inilah twitnya lewat akun S.B.Yudhoyono @SBYudhoyono:

Saudara-saudaraku yang mencintai hukum & keadilan, saat ini rumah saya di Kuningan "digruduk" ratusan orang. Mereka berteriak-teriak.

Kecuali negara berubah, Undang-Undang tak bolehkan unjuk rasa di rumah pribadi. Polisi juga tidak memberitahu saya.

Kemarin saya dengar, di Kompleks Pramuka Cibubur ada provokasi & ahitasi thd mahasiswa utk "Tangkap SBY".

Saya bertanya kpd Bapak Presiden & Kapolri, apakah saya tidak punya hak utk tinggal di negeri sendiri, dgn hak asasi yg saya miliki.

Saya hanya meminta keadilan. Soal keselamatan jiwa saya, sepenuhnya saya serahkan kpd Allah Swt.

Itulah konteks kultwit Anas untuk SBY itu. Dengan serangkaian cuitan SBY terkait demo di depan rumahnya itu, Anas menyatakan sudah beberapa kali demonstran dikirim ke rumahnya, saat SBY (yang mencintai hukum dan keadilan) menjabat jadi presiden.  Tetapi, Anas tidak pernah mencuit di twitter, karena itulah yang seharusnya dilakukan.

Pada twit nomor pertama, Anas Urbaningrum secara tak langsung mengingatkan SBY, sikap bijak sebagai orang Jawa yang seharusnya dijalani yaitu "ngono yo ngono, ning ojo ngono", tidak "grusa-grusu sak karepe dewe". Inilah yang tidak dilakukan SBY saat rumahnya didemo mahasiswa.

Sementara pada twit nomor 2, Anas mengingatkan lewat sahabatnya Ma'mun Murod, bagaimaina waktu itu mereka dibayangi intel yang dikirim pihak yang panik. Dia juga menyentil, dengan menyebut bahwa "Tidak ada kekuasaan yg abadi.  "Jaman iku owah gingsir". Karma akan terus bekerja.

Untuk memahami twit nomor 2 ini kita harus balik ke masa Anas masih belum dipenjara dan SBY masih menjabat presiden, tepatnya saat Partai Demokrat menggelar KLB di Bali. Saat itu, tepatnya 28 Maret 2013, Anas datang ke Bali, menjenguk ibu sahabatnya Pasek Suardika yang sedang sakit. Saat itu secara terang-terangan ada aparat yang mengkutitnya, bahkan mendatangi rumah ibu Pasek. Dan ini berlangsung terus selama Anas dan istrinya berada di Bali.

Kalau mau dihubungkan, twit Anas nomor 2 ini cukup relevan dengan konferensi pers SBY terkait penyadapan dan cuitannya di twitter yang menyebut-nyebut nama KH Ma'ruf Amin,  karena merasa dimata-matai. "Para sahabat, harap selalu diingat. Tidak ada kekuasaan yg abadi.  "Jaman iku owah gingsir". Karma akan terus bekerja." Begitu cuitan Anas.

Apa yang jadi bahan kultwit Anas itu sebenarnya juga tidak berlebihan. Artinya, yang mengingatkan SBY bahwa reaksinya atas demo mahasiswa itu kurang tepat, tidak hanya Anas Urbaningrum. Putri Gus Dur, Yenny Wahid juga menyayangkan cuitan SBY di twitter itu. "Kita semua kan sayang Pak SBY. Kita wajib mengingatkan beliau bahwa dunia media sosial itu kejam. Kasihan kalau beliau nanti di-bully oleh orang-orang di medsos," kata Yenny. (kompas.com, 6/2/2017)

Yenny menilai pernyataan di media sosial seharusnya tidak dikeluarkan secara langsung oleh SBY karena bisa dimaknai berbagai tafsir oleh publik. Pernyataan politik lebih baik dilontarkan oleh kader Partai Demokrat. Ini persoalan sensitif menjelang Pilkada. Dia berharap kalau ada kegundahan apa pun, SBY lebih memilih untuk bisa berkomunikasi langsung dengan Presiden Jokowi di ruang privat, bukan di ruang publik.

Itulah memang yang seharusnya dilakukan SBY. Anas dalam kultwitnya menyebut falsafah Jawa "ngono yo ngono ning ojo ngono". Ini selaras juga dengan ungkapan Jawa "empan papan" atau menempatkan sesuatu, diri, ucapan, tingkah laku pada tempatnya atau proporsional. Ada sesuatu yang harus ditempatkan di ruang privat, ada pula yang boleh dan bisa ditempatkan di ruang publik.

KULTWIT FALSAFAH JAWA ANAS SEBELUMNYA

Sebelumnya, Anas juga pernah menyindir SBY dengan ungkapan falsafah Jawa yang cukup dalam, saat SBY curhat ke Tuhan, 20 Januai lalu, S. B. Yudhoyono@SBYudhoyono: "Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar "hoax" berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang? *SBY*". 

Saat itu, Anas juga mentwit cukup banyak. Inilah twit Anas Urbaningrum @anasurbasningrum:

Ya Allah, bimbing para pemimpin kami untuk "ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani".

Falsafah Jawa tentang kepemimpinan ini sangat populer, diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, Bapak Pendidikan kita. Ungkapan itu bisa dimaknai, seorang pemimpin saat berada di depan harus memberi contoh; jika berada di tengah masyarakat, pemimpin harus membaur dan menyemangati; jika berada di belakang, pemimpin harus memberi dorongan dan motivasi.

Ya Allah, jangan sampai terjadi "mestine dadi tuntunan malah dadi tontonan".

Ungkapan itu bisa dimaknai seorang pemimpin seharusnya menjadi penuntun masyarakat, bukan sebaliknya dijadikan tontonan masyarakat karena ulah dan perilakunya yang tak terpuji.

Ya Allah, jauhkan kami dari pekerti "ono ngarep ewuh-ewuhi, ono mburi ngegol-egoli" (di depan merintangi, di belakang jadi beban). 

Ya Allah, ingatkan kami bahwa "ajining diri ono ing lathi, ajining diri ono ing cuitan"

(Ungkapan Jawa yang umum adalah "ajining diri ono ing lathi, ajining rogo ono ing busono, oleh Anas bagian akhir diubah menjadi ajining diri ono ing cuitan. Makna bebasnya,  harga diri itu ada di ucapan, harga diri itu ada di cuitan. Jadi berhati-hatilah, jagalah lidah ucapan dan jagalah cuitan di twitter.)

Ya Allah, jauhkan para pemimpin kami dari JARKONI "biso ngajar ora biso nglakoni" (bisa mengajarkan tapi tak bisa mempraktekkan).

Ya Allah, jangan lupakan kami dari petuah leluhur "ojo metani alaning liyan" (jangan mencari keburukan orang lain).

Ya Allah, jangan ubah "lengser keprabon madeg pandhito" menjadi "lengser keprabon madeg CAKIL".

Dalam pandangan Jawa, seorang pandito adalah seorang guru terhormat, penuntun umat, yang memberi suri tauladan, yang sudah purna dengan dirinya sendiri, yang hanya memikirkan kemaslahatan rakyat dan negara, dan mendekatkan diri ke Illahi Robbi, menanggalkan sifat memuja nafsu duniawi. Seperti itulah seharusnya seorang raja atau pemimpin setelah tidak menjabat, yaitu "lengser keprabon madeg pandito".

Cakil atau butho adalah raksasa yang perilakunya kurang terpuji, mengumbar hawa nafsu, mau menang sendiri, individualis, suka berbuat gara-gara, pemuja kenikmatan dunia, dan meresahkan rakyat. Seorang raja atau pemimpin setelah tidak menjabat lagi, seharusnya menjauhi perilaku cakil yang buruk hati dan perangainya.

Jadi, meskipun twit Anas itu ada yang ditujukan langsung ke SBY ataupun berupa sindiran tak langsung, makna yang dikandung dalam falsafah Jawa yang dikutipnya cukup dalam. Oleh karena itu, lepas dari motivasinya kultwit Anas Urbaningrum ini cukup bermanfaat untuk bahan perenungan bagi yang berniat menjadi pemimpin, yang saat ini menjadi pemimpin, ataupun yang usai menjadi pemimpin atau berstatus mantan.

Kultwi Anas itu adalah pelajaran tentang kepemimpinan, tentang etika seorang pemimpin, juga bagaimana seseorang harus bertindak menjadi negarawan yang harus purna terhadap dirinya sendiri. Anas menyebut: Negarawan mengutamakan pupuk. Politisi menyukai karbit. Negarawan memperjuangkan generasi berikutnya. Politisi memperjuangkan keturunan berikutnya. Demokrasi menjunjung kepentingan rakyat. Dinasti memanggil kepentingan anak. 

Begitulah kultwit Anas Urbaningrum yang banyak mengutip falsafah Jawa. Kebenaran tetaplah kebenaran, kebijaksanaan tetaplah kebijaksanaan, jangan pandang siapa yang menyatakannya. Seorang rakyat jelata, petani, pedagang, guru, bahkan seorang narapidana seperti Anas Urbaningrum pun bisa membawa kebenaran dan kebijaksanaan.

Itu kalau Anda mau belajar tentang kehidupan.

---

Salam, damai Indonesia
Bacaan pendukung:
nasional.kompas.com - news.liputan6.com - m.republika.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun