Segala jurus pemerintah untuk menurunkan harga daging, seolah mental di pasar akibat permainan harga mereka. Tak salah kalau ada yang menilai mereka telah menyabotase upaya pemerintah itu. Misalnya impor daging beku yang katanya kurang diminati pedagang dan konsumen itu, juga impor daging kerbau yang diisukan tidak hiegin, tidak aman dari penyakit, kurang diminati konsumen, dan terakhir malah dijual sama dengan harga daging sapi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebenarnya telah memberikan hukuman kepada 32Â feedloter yang melakukan praktik kartel daging sapi. Dominasi mereka di pasar terbukti telah disalahgunakan dengan melakukan persekongkolan. Akibatnya harga daging menjadi mahal. Perusahaan-perusahaan itu bahkan bersepakat untuk mengatur dan menentukan harga.
Feedloter adalah pembudi daya ternak dalam waktu tertentu dengan cara membeli bakalan dan kemudian diberi pakan pada batas waktu tertentu untuk meningkatkan bobot badan ternak. Ternak dipelihara dalam satu koloni besar, yang pada saatnya akan dikirim ke Rumah Potong Hewan untuk diproses menjadi daging segar dan dijual ke pasar.
Dominasi mereka di pasar daging itulah yang membuat harga daging menjadi mahal, seperti saat ini yang mencapai Rp 120 ribu, sementara pemerintah menilai harga yang wajar di kisaran Rp 80 ribu. Karena itulah kini pemerintah membuka keran impor daging kerbau yang harganya lebih murah, yaitu di kisaran Rp 65 ribu-Rp 70 ribu. Tetapi di pasar, daging ini ada yang dijual sama dengan harga daging sapi, di atas Rp 100 ribu per kg.
Mata rantai mafia daging ini bisa disebut mengular sangat panjang. Mulai dari negara asal ternak impor, feedloter, hingga ke pasar. Di negara asal ternak impor misalnya, mereka disebut sudah bisa mengantungi keuntungan 400 dolar AS per ekor sapi. Setelah dijual ke Indonesia, harganya tentu berlipat lagi. Sudah pernah ada kesepakatan untuk memutus mata yang panjang itu. Tetapi, tampaknya hingga kini belum membuahkan hasil.
Dengan terungkapnya suap pada perkara uji materi Nomor 129/puu/XII/2015, terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan itu membuktikan mafia daging akan terus bergerilya untuk mempertahankan dominasi mereka. Memang, alasan diajukannya uji materi itu, yaitu masalah zona based agar dikembalikan ke country based dengan alasan risiko PMK pada ternak impor, juga harga ternak petani lokal yang bisa terancam akibat impor daging kerbau yang murah.
Namun, kalau uji materi itu dikabulkan, maka impor daging kerbau dari India yang kini dijalankan pemerintah bisa dipermasalahkan dengan alasan kesehatan ternak. Dengan begitu daging sapi kembali berjaya karena daging kerbau impor pesaingnya terancam gulung tikar.Â
Mereka para mafia itu pun akan leluasa menikmati porsi Rp 50 T perputaran uang di bisnis ini dengan riang gembira. Sementara para peternak lokal mungkin sedikit saja gembiranya, seperti petani cabai yang kalah dengan pedagang. Akibat lanjutnya, harga daging murah sebagaimana yang diprogramkan Presiden Jokowi akan tinggal cerita yang enak didengar saja.Â
Munculnya pemilik 20 perusahaan impor daging sapi ini sebagai tersangka suap, menunjukkan upaya yang ditempuh pemerintah dalam memerangi praktek mafia daging ini terbukti kurang bergigi. Mungkin perlu cara yang lebih keras lagi, baik oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau lembaga negara lainnya. Tetapi, tentunya harus bersih-bersih ke dalam dulu agar kasus suap-suapan ala "daging seksi" itu tak terulang lagi.
Salam
---