Malam adalah raja bagi ingatan. Penjarah waktu paling menyakitkan. Sembilu seringkali merangkak kurang ajar di tengah kesunyian. Kepedihannya tidak benar-benar memudar.
Namaku Valeria. Aku adalah perempuan tanpa daun telinga. Perempuan bermata hujan. Perempuan pecinta yang bersembunyi di balik jubah malam. Perempuan dengan imajinasi mendapatkan cinta sejati dari seorang laki-laki.
1997. Tahun misteri untuk aku dan keluarga. Rumah sederhana berukuran 6x6 adalah kebisuan yang merekam tentang tangis seorang wanita dan laki-laki paruh baya berusia 40 tahun.
"Bu, Puskesmas hanya memiliki 1 infus. Ibu harus memilih siapa yang akan di infus?
Pertanyaan yang sulit untuk mama dan ayah kala itu. Serupa disuguhi  hidangan simalakama.
"Valerie saja dok, karena dia yang lebih parah luka bakarnya" Â Pilihan. Lagi-lagi seringkali kita terhimpit dengan beberapa pilihan yang sulit.
Kamar rawat ukuran 4x4 tergeletak dua tubuh anak yang lemas dengan kulit yang telah melepuh di beberapa sisi. Paha, tangan, kaki, wajah, kepala dan punggung.
"Bu, anak ibu tidak bisa di selamatkan" kata lelaki berbaju putih dengan stereoskop yang menggantung di lehernya.
Seketika itu kakak menghembuskan nafas terakhir. Sedangkan aku, masih menghirup udara segar sampai saat ini. Masih menikmati tangis yang sering menyapa dalam kesendirian.
Tuhan hanya akan memberikan beban pada tubuh yang kuat menopang. Aku tulis dengan front besar kalimat ini. Aku tempelkan di dinding kamar bersebelahan dengan lukisan Lazuard yang membentang luas. Semburat cahaya Tuhan seringkali merasuk ke urat-urat rasa ketika aku membaca kalimat itu.
Asthropilia. Ini adalah salah satu nama yang paling aku sukai diantara julukan lain yang tersemat untukku. Â Monster! Buruk rupa! Keriput! Jelek! Hantu! Seseram itukah aku?Â