Mohon tunggu...
Dahlia Abdullah
Dahlia Abdullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - IRT, Agen HNI HPAI, Belajar Menjadi Penulis

Moto Hidup Adalah Jangan Pernah Menyerah Untuk Bergerak Maju, Walau Sekecil Apapun Langkahmu Yang Terpenting Kau Terus Bergerak Maju.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perbedaan Antara Peduli dan Kepo

13 April 2021   11:05 Diperbarui: 13 April 2021   11:59 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peduli berarti mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan. Misalnya dalam contoh kalimat berikut ini,"mereka asyik memperkaya diri, mereka tidak peduli orang lain yang menderita."

Sedangkan kata kepo menurut KBBI adalah rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain. Kepo digunakan untuk merujuk pada orang yang selalu ingin tahu tentang urusan orang lain. Ada sejumlah perdebatan mengenai asal kata kepo. Sebagian orang menganggap kepo sebagai singkatan dari bahasa Inggris "knowing every particular object" , artinya tahu semua hal kecil. Namun, ada juga yang menganggap kepo berasal dari percakapan sehari-hari di Singapura. Banyak warga Singapura kerap mengkombinasikan bahasa Inggris dan Mandarin. Kata "kepo" disebut-sebut berasal dari istilah "kay po" yang dalam bahasa Mandarin berarti orang dengan kebiasaan selalu ingin tahu urusan pihak lain.

Secara garis besar, kedua kata ini hampir sama maknanya, sama-sama menghiraukan dan memperhatikan orang lain. Namun, secara sederhana bisa disimpulkan  peduli lebih menunjukkan makna positif dan kepo lebih menunjukkan makna negatif. Dalam kehidupan kita sekarang,  kedua kata ini telah bercampur baur maknanya dan kadang susah untuk dibedakan.

Sebagai contoh, saat saya dan seorang teman berada di sebuah supermarket, kami melihat seorang ibu sedang berdiri kebingungan. Saya berkata pada teman saya, "Kenapa ya ibu itu, Yuk kita tanya". Teman saya yang masih muda dan termasuk golongan milenial menolak dan berkata," Sudahlah  jangan kepo dengan urusan orang lain." Disitu saya merasa bimbang, apa tindakan saya termasuk kepo atau peduli. Dan kebimbangan itu mencegah saya untuk menghampiri ibu tersebut, karena saya takut dianggap kepo pada urusan orang.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat bahwa kepedulian terhadap orang lain di sekitar  amat jauh berkurang. Satu sama lain cenderung bersikap masa bodoh. Sebagai contoh pada  bulan November 2017 terdapat kasus seorang  anak berusia lima tahun tewas akibat dianiaya oleh ibunya di Jakarta Barat. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kasus kekerasan terhadap anak -yang berujung pada kematian- seharusnya dapat dicegah apabila warga sekitar mengetahuinya lebih dini dan segera melaporkan kepada otoritas terkait.

Contoh lain adalah kasus kekerasan pada anak di Jawa Timur, mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19.  Meningkatnya kasus kekerasan pada masa pandemi itu sejalan dengan tempat paling banyak terjadinya kekerasan. Yakni, di dalam rumah korban. Ada 65 kasus kekerasan yang terjadi di dalam rumah. Sekretaris LPA Jatim Isa AnsoriI mengungkapkan, pelaku kekerasan anak yang tercatat saat ini didominasi orang dekat, yaitu orang tua, saudara, dan sepupu. Terkait dengan tingginya kasus kekerasan anak, Isa menyarankan agar pemerintah dan masyarakat saling menjaga. Khususnya mengenai upaya pencegahan agar tidak ada kasus serupa yang terulang

Kasus- kasus ini memunculkan lagi persoalan lama yang belum tertangani yaitu ketidakpedulian tetangga atau masyarakat yang tinggal di dekat rumah anak korban kekerasan.

Mungkin yang saya alami di atas juga dialami oleh sebagian besar masyarakat kita, takut dianggap kepo akan urusan orang lain, takut dianggap terlalu mencampuri urusan orang lain. Padahal bisa jadi kata yang tepat untuk perbuatan kita itu adalah peduli, peduli pada sesama, peduli pada tetangga, dan peduli pada orang lain. 

Mari kita kembalikan kepedulian sosial masyarakat kita, jangan takut dibilang kepo selama yang kita lakukan masih dalam batas-batas yang sewajarnya.

(Ed. Dina Ananti)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun