Dukungan terhadap Tim Nasional Sepak Bola Indonesia seharusnya tidaklah terhalang hanya karena adanya pemain naturalisasi dari Belanda yang ikut terlibat dalam memperkuat tim nasional ini. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh berdarah keturunan Belanda tidak selalu berarti pihak yang mengambil pilihan untuk menjajah atau melawan "Republik". Sebaliknya, banyak di antara mereka yang justru memilih untuk berjuang bagi Republik Indonesia, seperti Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker) dan Poncke Princen.
Naturalisasi dan Loyalitas Kebangsaan: Belajar dari Sejarah Republik Ini
Sejak Revolusi Nasional (1945-1949) berlangsung dan Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, terdapat individu-individu yang berketurunan Belanda membuktikan bahwa cintanya terhadap Indonesia bukan sekadar soal darah yang mengalir di tubuhnya, tetapi soal pilihan hati dan pengabdian pada bangsa Indonesia yang ingin merdeka.
Jika mereka bersedia dengan kerelaan sepenuh hati dan jiwa penuh pengorbanan untuk mendedikasikan hidupnya bagi negeri ini, mengapa kita harus ragu mendukung pemain yang telah memilih Garuda sebagai bagian dari identitasnya?
Salah satu contohnya adalah Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker). Lahir di Pasuruan pada 1879, ia memiliki darah Belanda dari ayahnya dan keturunan Indonesia dari ibunya (Jerman-Jawa).Â
Meski tidak berdarah asli Indonesia, hal itu tak menghalangi Ernest untuk menjadi salah satu pelopor nasionalisme Indonesia. Bersama Ki Hajar Dewantara dan Dr. Cipto Mangunkusumo, ia mengabdi pada negerinya dan mendirikan Indische Partij, partai politik nasional pertama yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Ernest rela diasingkan ke luar negeri oleh pemerintah kolonial karena aktivitas politiknya yang dianggap mengancam tatanan kolonial.Â
Douwes Dekker juga berjuang lewat tulisan-tulisan tajamnya. Pada tahun 1908, ia menerbitkan artikel berjudul "Kebangkrutan Politik Etis di Hindia Belanda", yang mengkritik kebijakan kolonial. Ia juga menulis artikel yang berjudul "Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Kehilangan Tanah Jajahannya?" yang semakin membuat Belanda geram.
Pada tahun 1912, saat di mana ia mendirikan Indische Partij bersama Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan dr. Cipto Mangunkusumo, popularitasnya sebagai aktivis kemerdekaan Hindia meningkat dan langsung membuat Belanda khawatir. Akibatnya, satu tahun setelahnya, Indische Partij dibubarkan dan Douwes Dekker diasingkan ke Belanda.Â
Namun, semangatnya tidak pernah padam. Ia terus berjuang, mendirikan sekolah Ksatrian Instituut, menulis buku-buku antikolonial, dan bahkan kembali ke Indonesia setelah Revolusi. Ia diangkat menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir III dan menjadi penasihat dalam perundingan-perundingan dengan Belanda.