Siapakah orang Indonesia yang tidak mengenal Presiden Sukarno? Pria kelahiran Surabaya ini kerap disapa Bung Karno dengan alasan "kesetaraan" dan antifeodalismenya. Bung Karno merupakan salah satu tokoh pendiri bangsa Indonesa, di mana ia sempat menjadi presiden pertama Indonesia merdeka bersama dengan Bung Hatta. Bung Karno bersama Bung Hatta pun merupakan dua tokoh proklamator yang memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pasca-Konferensi Meja Bundar, Indonesia resmi dinyatakan merdeka secara de facto dan de jure. Sejak saat itulah, Bung Karno tampil menjadi tokoh dunia dan pemikiranny melintasi batas-batas nasional bangsa-bangsa internasional. Bung Karno ikut menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (1955), ia pernah mengusulkan agar tatanan dunia dirombak dengan pembangunan dunia yang berdasarkan Panca Sila sebagai ideologi alternatif atas Kapitalisme dan Komunisme (1960). Selain itu, Bung Karno pernah menginisiasikan pendirian Gerakan Non-Blok (1961) sebagai antitesis dari pergulatan geopolitik dan menggalang persatuan dunia ketiga dalam satu rampak barisan bernama "New Emerging Forces" (1963).
Dalam tahun-tahun di mana dirinya mengemban kekuasaan presiden langsung, sebagai kepala pemerintaan berdasarkan UUD 1945 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selama tahun 1959-1965, ia membawa negaranya dalam alam Revolusi Indonesia dan mendasarkannya pada Sosialisme Indonesia. Revolusi Indonesia tersebut kemudian didasarkan pada Panca Azimat Revolusi---lima pemikirannya yang menurutnya akan mengantarkan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Namun demikian, Bung Karno harus dijatuhkan oleh militer, setelah keseimbangan politik Nasakom dengan perimbangan antara PKI dan Angkatan Darat tidak mampu lagi terbendung dalam persatuan.
Sosialisme Bung Karno
Sukarno berpidato dalam sidang BPUPK pada 1 Juni 1945, di mana dirinya mengusulkan Panca Sila yang ia gali untuk dijadikan sebagai dasar negara. Pidato tersebut dikenal hingga sekarang sebagai Lahirnja Panca Sila. Dalam pidatonya, Sukarno menekankan tiga hal, yaitu nasionalisme yang disandingkan internasionalisme (sosio-nasionalisme), demokrasi dan kesejahteraan sosial (sosio-demokrasi), dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang kemasyarakatan. Sosio-nasionalisme menekankan pada persaudaraan antarmanusia, antarbangsa, dan antarnegara, serta sosio-nasionalisme juga menitikberatkan kepada terwujudnya Keadilan Sosial. Sosio-demokrasi adaah demokrasi rakyat, demokrasinya masyarakat. Sosio-demokrasi menghendaki adanya demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi, sehingga rakyat berdaulat secara politik dan pemerintahan, sekaligus berdaulat pula dalam alam perekonomian kenegaraannya. Apabila rakyat berdaulat secara ekonomi, maka berakhirlah penindasan dan ketidakadilan sosial, sehingga terwujud masyarakat yang tata tentrem kerta raharja, dengan kata lain, masyarakat sosialis Indonesia. Kedua inilah cita-cita Proklamasi dan kemerdekaan Indonesia, atau Sukarno pernah menyebutnya sebagai "jembatan emas". Kemerdekaan hanyalah jembatan emas untuk mengantarkan rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur.
Lalu, siapa yang disebut sebagai "Rakyat" oleh Bung Karno? Sepintas jawabannya adalah tiap-tiap orang yang menjadi warga negara Indonesia dan memiliki identitas kewarganegaraan Indonesia. Namun demikian, bila kita meresapi dan memahami lebih dalam pemikirannya Sukarno, maka "rakyat" yang dimaksud oleh Bung Karno sebenar-benarnya adalah rakyat "Marhaen". Marhaen inilah yang Bung Karno perjuangkan, di mana rakyat Marhaen diartikan sebagai "kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat, dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain."
Dengan demikian, sosio-nasionalisme dapat disejajarkan dengan istilah Nasionalisme Marhaen, dengan maksud "memperbaiki keadaan-keadaan di masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu, menjadi keadaan yang sempurna. Tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang celaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara." Selain itu, spirit perjuangan berdasarkan sosio-nasionalisme yang bertujuan untuk mencari keberesan politik dan ekonomi menjadikannya sama dengan "nasionalisme politik dan ekonomi", suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Demikian halnya dengan sosio-demokrasi, di mana Bung Karno menjelaskan bahwa "demokrasi yang sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki." Oleh karena itu, dapat dijelaskan dengan kalimat yang singkat tapi penuh makna, "sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi."
Menurut Bung Karno, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah Marhaenisme---ideologi yang dirumuskan olehnya sendiri. Bung Karno menjelaskan:
".... Dan bagi kita Marhaen Indonesia, asas kita adalah kebangsaan dan ke-Marhaen-an, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.... Masyarakat yang nanti didirikan, haruslah masyarakat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, cara pemerintahan yang nanti kita jalankan adalah cara pemerintahan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, republik yang nanti kita dirikan adalah republik sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, suatu republik politik sosial yang tiada kapitalisme dan tiada imperialisme."
Bung Karno kemudian memperingatkan dalam Mentjapai Indonesia Merdeka:
"... Indonesia merdeka hanyalah suatu jembatan, sekalipun suatu jembatan emas! Yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprayitnaan, jangan sampai di atas jembatan itu kereta kemenangan dikusiri oleh orang lain selain Marhaen. Seberang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke dunia keselamatan Marhaen, satu ke dunia kesengsaraan Marhaen; satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis. Celakalah Marhaen, bilamana kereta itu masuk ke atas jalan yang kedua, menuju ke alam kemodalan Indonesia dan keborjuisan Indonesia!"