Polanya kini sudah kita kenali: demokrasi konstitusional, meski masih banyak kekurangan, berfungsi dengan cukup baik dan menghasilkan pemilu yang transformatif. Kemudian, seorang pemimpin karismatik (dengan gayanya yang sangat “menawan” dan populismenya) naik ke tampuk kekuasaan. Dia mendapatkan tambahan kekuatannya dari kondisi kejenuhan rakyat terhadap kondisi yang ada dan pasangan calon yang itu-itu saja. Pemimpin ini kemudian menjanjikan perbaikan esktrem terhadap berbagai ketidakberfungsian, seperti partisanship (kondisi keberpihakan pada parpol, golongan, atau pribadi yang kronis), ketidakefektifan jalannya pemerintahan, dan birokrasi yang stagnan. Dia mengklaim selalu berkata apa adanya, penuh dengan kejujuran, dan tanpa basa-basi selalu mengungkapkan dirinya yang berpihak pada rakyat. Dia menggunakan kekuatan dirinya yang berkarisma, populis, dekat sama rakyat, berbadan ramping, dan kemeja yang selalu tampak digulung, sambil meyakinkan rakyat [baca: pendukungnya yang buta] bahwa negara ini milik mereka, hanya milik mereka. Dia memenangkan kekuasaan, dan benar-benar memenangkannya, dengan begitu lihai dan terampil dan memulai langkahnya untuk memperkosa konstitusi. Sebut saja dia: Sri Paduka.
Di seluruh dunia, demokrasi konstitusional sedang “ramai-ramai diserang” oleh para pemimpin karismatik, yang ciri khasnya adalah tidak mau mengikuti peraturan, tidak taat konstitusi, mengakalinya, bahkan tak segan untuk menabrak atau membegalnya. Dari satu negara demokrasi ke negara demokrasi lainnya, tumbuh pula rasa ketidakpercayaan publik terhadap kelembagaan politik yang demokratis. Tren ketidakpercayaan ini ditunjukkan pada saat krisis keuangan global pada tahun 2008. Terlepas dari Great Recession yang semakin memperburuk situasi, kemerosotan demokrasi konstitusional ternyata telah terjadi sebelumnya. Hal ini dibuktikan oleh jumlah negara demokrasi dengan kualifikasi baik mulai berkurang, bahkan terjadi sebelum krisis ekonomi. Kemerosotan demokrasi konstitusional memang dapat dikatakan disebabkan oleh faktor permasalahan ekonomi, tetapi masalah sebenarnya lebih dari sekadar ekonomi. Masalahnya adalah terdapat hal keliru yang lebih fundamental di negara demokrasi.
Hal fundamental yang tersembunyi ini adalah kisah tentang “mencapai tujuan jahat melalui cara yang konstitusional”. Sri Paduka tidak hanya memanfaatkan krisis kepercayaan publik terhadap partai politik, tetapi juga Sri Paduka membegal partai-partai dengan tangan-tangan di sekelilingnya, dengan dalih sebagai alat untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dan terus mengukuhkan dirinya sebagai penguasa dalam jangka waktu yang lama. Barangkali untuk seumur hidup.
Iya, memang masih ada pemilihan umum. Barangkali begitu kata pengamat awam yang mencatat bahwa pemilihan umum di negara ini tetap berlangsung dan tidak ada tindakan ilegal di dalamnya. “Demokrasi memang tampaklah baik (atau cukup baik),” ujar si pengamat itu. Namun, Sri Paduka ini selalu menggunakan mandat “demokratis”-nya untuk melaksanakan agenda “reformasi hukum” yang—nyatanya—menghapus pengawasan legislatif terhadap kekuasaan eksekutif [baca: DPR], membatasi gerak-gerik oposisi dan lawan politik [baca: Partai Politik Oposisi, LSM, NGO, dan aktivis], dan merusak lembaga independen yang krusial dalam negara demokrasi [baca: MK].
Sri Paduka juga mendorong langkah-langkah kontra-kebebasan politik, kontra-demokrasi. Mereka menggunakan dukungan elektoral ditambah dengan metode yang konstitusional untuk mencapai tujuan politik-kekuasaan mereka. Jangan heran bila Sri Paduka menghimpun semua partai dalam genggaman tangannya dan Sri Paduka memerintahkan ketum partai menggunakan ancaman kasus supaya kemauannya dijalankan oleh si ketum itu. Ya, tepat, Sri Paduka memang dapat menyembunyikan “gerakan” antidemokrasinya dan autokratisnya dalam “pengaburan” melalui jalan yang sah, menggunakan hukum yang sah, dan melalui cara yang konstitusional.
Demokrasi konstitusional yang memiliki banyak varian kelembagaan dan aturan substantif yang luas, bisa menjadi pembenaran normatif oleh Sri Paduka. Varian demokrasi konstitusional itu digunakan olehnya, dijadikan kedok untuk gerakan kontrademokrasi dan pelanggengan dinasti Sri Paduka untuk anak-anaknya. Di dalam variasi yang sah ini, beberapa kombinasi pola politik—seperti buzzer, survei, dan segala halnya—dan hukum terbukti amat beracun bagi kelangsungan demokrasi konstitusional dan kebebasan politik rakyat di negaranya Sri Paduka.
Sri Paduka ini, menemukan kombinasi-kombinasi versinya sendiri untuk membawa bangsanya ke luar dari alam demokrasi. Bahkan, ke luar dari alam Republik untuk menuju monarki tiran yang serakah, rakus, dan tak tahu diri. Hal ini disebabkan oleh Sri Paduka yang amat licik, sehingga dirinya mampu—dan amat mengetahui—cara-cara bermain di dalam sistem pemerintahannya. Mayoritarian penduduk negaranya yang tidak tercerdaskan secara politik dan aklamasi dalam pemungutan suara yang hanya 1 putaran, mengakibatkan Sri Paduka yang terlihat resik, suci, dan karismatik sangatlah tampak “merakyat”. Sri Paduka pun menjadi tersamarkan sebagai seorang demokrat sejati, di mana Sri Paduka adalah pemimpin yang dipilih melalui pemilu, tapi pada saat Sri Paduka menang, Sri Paduka mengubah segala konsep negaranya menjadi tidak berpaham konstitusionalisme. Ditambah dengan mandat “elektoral yang tinggi sampai tak terhingga” atas kemenangannya serta dengan perubahan UU secara konstitusional difokuskan oleh Sri Paduka untuk melayani agenda kekuasaannya, oligarkinya, pemujanya, dan hawa nafsu berkuasa Sri Paduka ini. Nah, yang dilakukan oleh Sri Paduka ini disebut sebagai “legalisme autokratik”.
Bagaimana Sri Paduka merombak demokrasi konstitusional menjadi legalisme autokratik?
Taktik pertama Sri Paduka dalah memanfaatkan “simplifikasi tipe” tirani dan otoriter yang ada di benak masyarakatnya. Misalnya, rezim penguasa tiran atau otoriter abad ke-20 selalu digambarkan dengan cara-cara tertentu, dan banyak rakyat yang dididik dengan narasi-narasi demikian, yang menyoroti pertanda yang menunjukkan bahwa otoritarianisme kejam-bahaya-rakus akan segera terjadi. Akan tetapi, Sri Paduka yang autokrat legalistik ini kemudian melakukan tindakan kontras dengan pandangan tipe tiran yang ada di benak masyarakatnya untuk mengonsolidasikan kekuasaan Sri Paduka sendiri, sehingga Sri Paduka dapat mengklaim bahwa Sri Paduka bukanlah otoriter. Di dunia di mana tokoh-tokoh penjahat abad ke-20 dikemas dalam narasi-narasi tertentu, maka tokoh-tokoh penjahat—seperti Sri Paduka—abad ke-21 akan berusaha keras untuk menghindari persamaan buruk dengan Sri Paduka abad ke-20 [baca: Jenderal S].
Coba perhatikan “skenario Hitler”: Pemimpin yang dimotivasi oleh ideologi yang luar biasa, berkuasa dan kemudian mengumumkan keadaan darurat, dengan dalih transformasi ekstrem sedang terjadi (terbakarnya Reichstag) yang mungkin dijalankannya juga oleh para pendukung pemimpin itu. Keadaan darurat memberikan kedok untuk melucuti semua hak dan jaminan konstitusional. Hak-hak ditangguhkan, dan kekuasaan parlemen diambil alih. Paramiliter mengganti segala peran milik lembaga-lembaga sipil yang biasa terdapat dalam negara. Hitler kemudian menyalahkan pihak lawan yang ada di dalam negeri, dan segera mengambinghitamkan sebagian rakyatnya sebagai dalih untuk merampas hak-hak mereka. Persepsi adanya “ancaman” dari lawan di dalam negeri menjadikan landasan untuk memobilisasi penduduk lainnya supaya menarik simpati kepada sesama warga negara, kemudian berakibat pada menjadi kondisi yang semakin rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dengan skala ekstrem. Pada akhirnya, Hitler nembawa negaranya ke dalam peperangan. Perang memberikan pembenaran bagi Hitlet untuk melakukan genosida dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran lainnya, yang ditampilkan sebagai penyebab mengapa pemimpin otoriter ini berusaha mencapai kekuasaannya.
Kemudian ada “skenario Stalin”: Pemimpin yang didorong oleh ideologi luar biasa lainnya, berjuang untuk mencapai puncak kekuasaan dengan menggunakan “ideologi, tipu muslihat, dan kekerasan”. Stalin dengan kejam menyingkirkan semua saingannya, mengonsolidasikan kendali atas Partai, dan kemudian menguasai negara seutuhnya. Pengukuhan rezim Stalin kemudian menyebabkan kematian jutaan orang, dengan tindakan ugal berupa pemenjaraan, penyiksaan, dan pembantaian para oposan dalam skala besar-besaran. Stalin pun menghancurkan lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya dan memerintah rakyatnya dengan amat kejam dan tanpa batas. Stalin merebut negara untuk mencapai tujuan kekuasaan-politiknya secara represif. Kebebasan ditiadakan, dan hak-hak dihormati hanya jika ada pelanggaran hak tersebut.
Dalam kedua skenario stick-figure di atas, pemusatan kekuasaan terjadi dengan sangat brutal, begitu menyeluruh, dan sangat jelas terlihat. Kedua skenario ini menampilkan: para pemimpin yang membenarkan tindakannya atas nama ideologi otoritarianisme yang kuat.