Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Detik Maut di Delhi

14 Maret 2020   10:00 Diperbarui: 14 Maret 2020   09:59 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sebelum saya memberitahukannya, mungkin sebaiknya kita mengangkut dia bersama,” Ghulam memberi pesan isyarat sambil menunjuk ke dalam gedung sekolah, lebih tepatnya UKS.

“Oh ya, Bapak lupa. Kau benar, nak,” Sang petugas melihat sekeliling sebelum berbicara lagi, “Ayo kita angkat ia ke UKS,”

Aminah terbaring lemah di salah satu dari dua kasur UKS, Ghulam akhirnya tetap diizinkan ikut upacara bendera walau sempat ditanyakan oleh seorang guru mengenai keterlambatannya.

Setelah upacara selesai, Ghulam kembali berbicara dengan sang petugas. Ia menyebutkan apa saja yang ia tahu mengenai ciri fisik para perundung.

“Baik, jadi salah satu pelakunya berambut lurus dan hitam, ya?” Pak Khan, begitulah nama panggilan sang petugas, memegang jenggotnya. “Maaf jika jawaban terakhir Bapak mungkin tak memuaskan, tetapi kalian hanya bisa bertahan.”

Ghulam bingung, ia mengangkat bahunya tanda tak mengerti, untunglah Pak Khan paham maksudnya. “Sebenarnya, ada kenyataan pahit di sekolah-sekolah di seluruh negeri belakangan ini : sebagian besar sekolah di sini kadang tak menyadari atau bahkan tak peduli dengan kasus perundungan. Sekolah ini adalah salah satunya, walaupun ada peraturan yang melarang perundungan, kepala sekolah selalu mengacuhkan kasus-kasus perundungan dan beralasan bahwa perundungan adalah bagian dari tekanan hidup yang dapat memperkuat mental.”

Ghulam hanya bisa mengernyitkan dahi dan menghentakkan kakinya satu kali. Jika ia bisa berbicara, mungkin ia akan berteriak dan memaki dengan marah siapapun yang membiarkan dan melakukan perundungan di sekolah ini.

Aminah, sudah mulai sadar, segera memanggil Ghulam, “Ghulam, Aminah tak apa-apa,” Gadis itu tersenyum, “Aminah sudah biasa, kok,”

“Lalu, mengapa kau tadi menangis, Aminah?” Tanya Ghulam melalui buku tulis di tangannya.

“Aminah menahan sakit,” Dia masih mempertahankan senyumnya, “Dan Aminah tak menangis karena dirundung atau sepeda Aminah rusak, karena Aminah sudah terbiasa.”

“Maksudmu?” Ghulam menulis lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun