Mohon tunggu...
Daffa Ardhan
Daffa Ardhan Mohon Tunggu... Freelancer - Cerita, ide dan referensi

Menulis dalam berbagai medium, bercerita dalam setiap kata-kata. Blog: http://daffaardhan.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengukur Standar Kebahagiaan Kita

9 Maret 2020   10:24 Diperbarui: 11 Maret 2020   15:40 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jika kita merasa standar kebahagiaan itu sulit dilepaskan dari mindset, maka jangan simpan standar itu terlalu tinggi. (Gambar: Pixabay/Pexels)

Rudi adalah seorang buruh di sebuah pabrik sepatu. Seperti buruh pada umumnya, Rudi ingin sekali gajinya naik. Setiap tahun, ia selalu ikut berpartisipasi dalam aksi hari buruh. Tuntutan yang paling sering di angkat adalah kenaikan gaji atau kenaikan upah minimum di daerahnya.

Namun dua tahun terakhir ini, Rudi tidak lantang menyuarakan kenaikan gaji lagi. Ia tetap berpartisipasi dalam aksi, tapi lebih diniatkan sebagai solidaritasnya sebagai buruh. Tuntutan kenaikan upah bukan jadi prioritas utamanya.

Setidaknya itu yang dilakukan Rudi untuk dirinya sendiri. Bukan bermaksud tidak mendukung terhadap tuntutan buruh lainnya, tapi ia mencoba menerima semua yang sudah ia miliki sekarang.

Rudi bersyukur kalau dirinya sudah memiliki pekerjaan tetap. Ia ingat, ada tetangganya yang sudah 3 tahun lulus SMA masih belum mendapat pekerjaan. Mendengar cerita itu, Rudi sangat bersimpati karena dulu ia pernah ada posisinya.

Setiap kali mendengar cerita temannya yang masih menganggur, ia bersyukur kalau dia masih punya pekerjaan. Bagi Rudi yang hanya lulusan SMA, mendapat pekerjaan dengan gajinya sekarang sudah cukup membiayai kebutuhan orang tua dan adiknya. Meski beberapa keinginan belum terpenuhi, tapi ketika kebutuhan sudah tercukupi, itu saja sudah jadi kebahagiaan besar baginya.

Orang seperti Rudi merupakan contoh sosok yang menempatkan kebahagiaan pada level yang tidak tinggi, tapi dari level itu ia bisa tetap merasakan kebahagiaan luar biasa. Bagi sebagian orang, kehidupan Rudi saat ini merupakan posisi yang masih pas-pasan. Dia belum memenuhi standar kebahagiaan yang dibentuk banyak orang.

Namun yang jadi pertanyaan, apa benar kebahagiaan itu punya standar? Sadar atau tidak kita mengakuinya ada. Kenyataannya standar itu muncul dari apa yang kita lihat di lingkaran pertemanan dan lebih menguat lagi di media sosial.

Apa yang sering kita lihat di instagram seringkali jadi patokan kebahagiaan yang paling ideal. Teman-teman kita di media sosial telah membentuk standar kebahagiaannya sendiri.

Jika seseorang melihat kebahagiaan teman-temannya dari seberapa sering mereka liburan, seberapa romantisnya mereka dengan pasangannya, atau barang apa saja yang sanggup mereka beli. Itu yang kemudian akan jadi standar kebahagiaannya.

Kebahagiaan itu sebetulnya tidak ada standarnya. Tapi lingkungan sosial kita yang sengaja atau tidak telah membentuk standar itu sendiri.

Seseorang yang merasa bahagia jika bisa liburan ke luar negeri, maka orang lain yang melihat hal itu sebagai sesuatu kebahagiaan akan menirunya sebuah standar ideal. Kalau standar kebahagiaannya punya kendaraan mahal, maka sebagian orang akan menganggap bahagia itu kalau punya kendaraan mahal juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun