Mohon tunggu...
Daffa FaiqFauzan
Daffa FaiqFauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Daffa

Daffa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sepakbola Indonesia Kapan Majunya?

16 April 2021   10:00 Diperbarui: 16 April 2021   10:04 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap Negara pastinya memiliki satu problem atau masalah yang dapat membuat resah para penduduknya, tak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia sendiri memiliki banyak sekali masalah masalah mulai dari ekonomi,politik,budaya bahkan yang berkaitan dengan olahraga. Pada kesempatan kali ini saya akan menuangkan keresahan saya sebagai rakyat Indonesia dari sudut pandang olahraga terutama sepakbola.

Di Indonesia olahraga merupakan suatu hal yang sangat digandrungi masyarakat dan menjadi hobi bagi sebagian orang untuk mengisi waktu luang mereka. Di Indonesia memiliki beberapa olahraga yang sangat digemari dan juga memiliki peminat yang sangat tinggi seperti, Badminton,Bola Voli,Basket, Sepakbola dan masih banyak lagi. Namun jika kita lihat berdasarkan fakta, sepakbola merupakan olahraga paling digemari seluruh masyarakat di tanah air tercinta ini. Olahraga ini dikemas dengan sederhana dan dapat dinikmati berbagai kalangan mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan lanjut usia tidak dapat membatasi mereka untuk menggemari tontonan sepakbola. Banyak sekali juga kita temui sepakbola di seluruh titik di tanah air ini, mulai di stadion,lapangan bahkan di gang sempit sekalipun. Hal ini menunjukkan bagaimana fanatismenya masyarakat Indonesia kepada sepakbola dan merakyatnya permaianan sepakbola yang bisa dimainkan segala kalangan di tanah air tercinta ini.

Sering sekali kita jumpai bagaimana fanatiknya supporter sepakbola yang ada di Indonesia, Mereka selalu hadir dimanapun klub kesayanganya bermain baik diluar provinsi bahkan luar pulau sekalipun hanya demi memberi dukungan. Para supporter juga  tidak pernah mempermasalahkan mahalnya harga tiket apabila klub yang mereka cintai sedang bertanding. Teriakan serta dukungan untuk tim kesayangan serta yel yel yang mampu mengintimidasi untuk tim lawan juga secara otomatis menjadi suatu andalan para supporter fanatik. Memang di Indonesia bahkan dunia,sepakbola dan suporternya merupakan suatu hal yang tidak akan terpisahkan.

Namun sayang sekali, sepakbola Indonesia di level internasonal khususnya, tak kunjung mengalami kemajuan atau bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran jika kita lihat peringkat yang diunggah Federasi Sepak Bola Internasional  (FIFA), Indonesia menduduki peringkat 173 dari total 210 negara yang memiliki poin laga internasional. Indonesia terpaut 20 peringkat dari musuh bebuyutan Malaysia yang menduduki peringkat 153. Pencapaian ini sangat mengecewakan jika dibandingkan dengan supporter Indonesia yang  malah memiliki predikat salah satu supporter paling fanatik di Dunia.

Indonesia menjadi negara yang mengalami penurunan peringkat FIFA paling signifikan di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam sedekade terakhir. Prestasi sepak bola Indonesia dalam 10 tahun terakhir bisa dibilang datar-datar saja. Tidak ada peningkatan yang signifikan. Bahkan, Indonesia lebih sering menemui kegagalan. Kegagalan di beberapa seri Piala AFF dan Kualifikasi Piala Dunia 2022 contohnya. Akibatnya, bisa ditebak, posisi Indonesia terjun bebas di ranking FIFA. Awal 2010, Indonesia sempat memiliki ranking FIFA tertinggi kedua se-Asia Tenggara. Tim Merah Putih berada di posisi 127 ranking FIFA pada 2010 berarti dalam satu decade terakhir Tim sepakbola Indonesia mengalami penurunan ranking yang sangat drastis.

Ada banyak sekali factor yang mempengaruhi buruknya performa sepakbola Indonesia. Factor pertama menurut saya adalah buruknya federasi sepakbola Indonesia atau PSSI. Pada tahun 2015 silam PSSI dibekukan oleh FIFA yang akibatnya adalah seluruh aktifitas sepakbola di Indonesia harus dihentikan.

Kejadian ini bermula ketika Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Imam Nahrawi memberikan surat keputusan mengenai pembekuan PSSI pada Jumat (17/4/2015).Secara garis besar, Kemenpora tidak mengakui keberadaan seluruh kegiatan keolahragaan PSSI. Pada sehari berselang, PSSI malah mengadakan Kongres Luar Biasa untuk mendeklarasikan La Nyalla Mattalitti sebagai ketua periode 2015-2019.Kemenpora tetap pada pendiriannya tidak mengakui deklarasi yang dilakukan oleh PSSI tersebut. Bahkan, Imam Nahrawi dan kolega membentuk tim transisi untuk mengambil alih PSSI dalam mengurus sepak bola Indonesia yang sah.Tim transisi bentukan Kemenpora mengirimkan perwakilannya untuk menemui FIFA, namun ditolak. FIFA malah meminta pemerintah Indonesia untuk segera mencabut pembekuan PSSI. Akhirnya, FIFA memberikan hukuman yang cukup berat untuk Indonesia pada 30 Mei 2015 akibat intervensi yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pesepakbolaan dalam negeri. Indonesia dijatuhi sanksi dengan pembekuan segala aktivitas sepak bola yang terdapat dalam agenda atau pengawasan FIFA. Dampak yang terasa yaitu klub Indonesia tidak bisa tampil dalam kompetisi resmi FIFA ataupun AFC pada 2015.Pada saat itu, Persipura Jayapura yang cukup merasakan salah satu dampaknya karena tidak bisa berlaga di ajang Piala AFC. Selain itu, Timnas Indonesia tidak bisa berlaga di ajang Internasional yang dibawah naungan oleh FIFA.

FIFA saat itu tidak memberikan masa berlaku untuk hukumannya kepada persepak bolaan Indonesia. Namun, ada syarat pembebasan hukuman yang diberikan FIFA pada intinya meminta pemerintah Indonesia mengembalikan kehidupan PSSI seperti fungsinya tanpa ada intervensi kembali. Hukuman itu baru dibebaskan oleh FIFA hampir satu tahun berikutnya atau tepatnya 13 Mei 2016. Presiden FIFA, Gianni Infantino, mencabut hukumannya untuk Indonesia karena Kemenpora telah mencabut pembekuannya terhadap PSSI, Selasa (10/5/2016).

Selain kasus pembekuan federasi diatas, ada satu hal lagi yang semakin memperjelas bobroknya PSSI ini, yaitu dugaan pengaturan skor atau Match Fixing. Ada dua jenis pengaturan pertandingan (match-fixing): (1) Arranged match-fixing, bertujuan memberi salah satu tim yang bertanding keuntungan; (2) gambling match-fixing, bertujuan mendapatkan keuntungan dari pasar taruhan tanpa peduli terhadap klub yang bertanding. Keduanya merupakan borok dalam dunia olahraga. Bagaimanapun, penyakit ini nampak terus memenangi pertempuran. Seandainya tidak bertambah banyak, mereka akan tetap muncul di waktu dan lokasi berbeda. Declan Hill dalam The Insider`s Guide to Match-Fixing in Football menjelaskan bahwa (berdasarkan urutan) administrator tim, pemain, dan wasit adalah sasaran empuk para pengatur skor untuk mengambil peran kotor ini. Pertanyannya: kenapa sportivitas yang seharusnya menjadi kode moral dasar permainan bisa diperjual-belikan?

Jawaban paling umum adalah uang. Hampir seluruh pengemban peran mendapatkan hadiah berupa uang sebagai bentuk terima kasih. Dalam salah satu kasus pengaturan skor di Liga Indonesia terbaru (yang berhasil diungkap), wasit Nurul Safarid terbukti menerima imbalan uang. Dia dibayar 45 juta rupiah untuk memenangkan Persibara Banjarnegara ketika melawan Persekabpas Pasuruan dalam pertandingan Liga 3 2018. Pemain yang terjangkit borok ini pun mendapatkan imbalan serupa. Kiper adalah posisi yang paling rawan sekaligus rutin ditawari `uang jajan tambahan`, disusul oleh pemain bertahan. Gelandang dan penyerang tidak terbebas dari tawaran itu, sekalipun bukan prioritas para pengatur skor.

Manusia telah diajarkan konsep reward and punishment sejak kecil. Sebagaimana bocah dibelikan mainan jika mampu mendapatkan nilai tinggi dalam ujian, (kurang lebih) seperti itu juga para dewasa memproses sebuah peluang. Mulai tentang pekerjaan hingga percintaan. Mereka akan rela melakukan sesuatu jika upaya dan pengorbanannya mendapatkan ganjaran seimbang. Khusus dalam hal pengaturan skor, ada banyak hal yang dipertimbangkan sang aktor. Kariernya bisa habis jika ketahuan. Kredibilitasnya sebagai manusia pun turut hilang. Oleh sebab itu, tentu dibutuhkan jumlah uang yang sepadan. Semakin tinggi pamor pemain, maka semakin tinggi pula imbalannya. Risiko terungkap juga lebih potensial jika dilakukan di event besar yang disorot oleh hampir seluruh belahan dunia. Inilah alasan para pengatur skor lebih senang bermain di pertandingan `kecil`. Pengawasannya rendah, biayanya lebih murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun